Jumat, 09 Desember 2011

Kisah dari Lawallu Dari Abon Hingga Musrenbang


Masih ada kisah yang tersembunyi di daerah pantai Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riarja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Ketika musim pancaroba atau peralihan musim tiba, warga desa yang sebagian besar nelayan sulit memperoleh hasil tangkapan yang bagus.

Hj. Syamsudduha, Kepala Desa Lawallu mengkisahkan di tengah masa paceklik itu, sekitar 60 persen warga desa yang merupakan kaum perempuan tidak bisa berbuat banyak. “Warga saya itu kebanyakan perempuan. Mereka tidak memiliki keahlian apa-apa. Aktivitas mereka tidak lebih melayani suami-suami mereka pulang melaut,” ujarnya saat ditemui Kabar Pesisir, September 2011.

Banyaknya jumlah perempuan di desa itu tidak menyurutkan semangat  Syamsudduha menjalankan amanah sebagai Kepala Desa Lawallu, karena banyak di antara warganya khususnya kaum perempuan itu yang belum berbuat banyak untuk memperbaiki kehidupan keluarga mereka.

Budaya Siri tidak melarang perempuan bekerja

DISKUSI BUDAYA. Live interaktif Program Kabar Pesisir TVRI Makassar yang menghadirkan Sosiolog Unhas Prof.DR.Maria E. Pandu, Budayawan asal Universitas Negeri Makassar (UNM), DR. Ahyar Anwar dan Kepala Desa Lawallu, Kabupaten Barru, Hj Syamsudduha,MM.Pub.Talkshow yang dipandu kelompok teater Petta Puang ini diselenggarakan oleh Oxfam bekerjasama dengan Canada Internasional Development Agency (CIDA) di Studio TVRI Makassar, Jumat, (16/9).



masyarakat di Sulawesi Selatan ternyata tidak melarang perempuan bekerja. Sebagian masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan menilai perempuan pekerja masih dianggap “siri” (tradisi malu).

Mereka beranggapan keterlibatan perempuan melecehkan tanggungjawab laki-laki yang dinilai tidak mampu lagi menghidupi kebutuhan keluarga. Akibatnya, perempuan pesisir hanya bisa menunggu dan menaruh harapan pada hasil tangkapan laki-laki yang sedang melaut.

Budayawan dari Universitas Negeri Makassar (UNM), DR. Ahyar Anwar secara tegas menolak adanya pemahaman budaya “siri” seperti itu, bahkan dia mengaku keterlibatan perempuan yang bekerja dalam rumah tangga justru menjaga budaya “siri” keluarga. “Mengapa orang harus malu, kalau istri atau anak perempuan mereka bekerja. Ada yang bilang suaminya sudah tidak mampu lagi kasih makan anak/istrinya. Ini yang saya anggap salah,” kata dia.

Budaya “siri” atau tradisi malu yang dipertahankan turun temurun oleh masyarakat Bugis-Makassar, menurut Ahyar masih belum dipahami oleh sebagian masyarakat yang bermukim di daerah pesisir Sulawesi Selatan. Sepanjang keterlibatan perempuan tidak menyalahi adat-istiadat setempat, dia menganggap hal itu tidak usah terlalu dipermasalahkan.

Meskipun, kondisi budaya Sulawesi Selatan itu dibedakan secara biologis dan psikologis antara kaum pria dan wanita. Tetapi tidak mutlak hak perempuan membantu suami mencari nafkah dibatasi dan dianggap sebagai sebuah pelanggaran tradisi. “Kenapa harus takut kalau perempuan bekerja. Mereka kan membantu menafkahi keluarga, yang salah itu kalau keluarga tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Itu yang harus dianggap ‘siri’, ” kata dia.

Budaya di wilayah pesisir Bugis-Makassar masih sangat kental, karena laki-laki masih mendominasi pekerjaan sebagai nelayan yang dianggap sebagai sumber utama mata pencariankeluarga. Sementara wanita selalu  diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang hanya menunggu di rumah dan mempersiapkan kedatangan suami dengan hasil tangkapan laut.

Jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat pesisir di Jawa, perempuan memiliki peranan yang penting dalam sektor industri, karena hampir 70 persen wanita di daerah itu yang tercatat sebagai pekerja. Meskipun, dia mengaku perempuan masih memiliki keterbatasan dalam melakukan pekerjaan laki-laki seperti melaut. “Tetapi kita harus bisa melihat kemampuan atau keterampilan apa yang bisa dilakukan perempuan untuk membantu ekonomi keluarga. Kalau mereka punya keahlian mengolah hasil tangkapan suami menjadi makanan atau produk yang memiliki nilai tambah, itu akan jauh lebih baik, karena mereka mampu menambah nilai dan itu sama sekali tidak melanggar norma budaya ‘siri’,”  Ujar  Doktor Ahyar.

Sosiolog dari Universitas Hassanuddin Makassar, Prof.DR.Maria E. Pandu juga menjelaskan hal serupa yang menurutnya setiap masyarakat pesisir memiliki cirri khas budayanya sendiri. Maria memberikan gambaran tentang kondisi budaya masyarakat pesisir di Mandar Sulawesi Barat dan masyarakat pesisir Bugis Makassar di Sulawesi Selatan.

Menurutnya, budaya masyarakat pesisir di kedua wilayah itu sudah melekat turun -temurun dan diakui tidak mudah di hilangkan begitu saja. “Budaya yang di maksud (adalah bahwa) kaum perempuan pesisir tidak bisa bekerja untuk menopang kelangsungan hidup, karena itu menyalahi kodrat mereka,” katanya.

Perempuan pesisir hanya bisa mengolah hasil tangkapan sang suami, dengan kata lain perempuan menggantungkan hidupnya kepada laki-laki yang masih mampu secara fisik. Selain itu, kaum pria dan wanita di kedua wilayah tersebut menginterpretasikan norma-norma budaya dengan paham-paham mereka sendiri.

“Seharusnya mereka bisa memisahkan antara norma atau agama dengan kerterlibatan perempuan dalam menafkahi keluarganya. Jangan menjadikan budaya atau agama sebagai alat untuk membatasi hak-hak perempuan. Sebaiknya berikan kesempatan kepada kaum jenis kelamin berbeda untuk membantu ekonomi keluarga. Hal inilah yang berulangkali saya jelaskan dalam setiap pembahasan seperti ini,” tegas Professor Maria.

Masyarakat pesisir seharusnya bisa membangun konstruksi sosial yang disesuaikan dengan kondisi budaya maupun agama masyarakat setempat. “Kalau perempuan tidak mampu menjadi nelayan, paling tidak berikan mereka kesempatan untuk menggali potensi atau kemampuan mereka. Apakah mereka membantu suami memasarkan hasil tangkapan atau mengolah hasil tangkapan itu supaya bisa memperoleh nilai yang lebih besar. Saya pikir ini yang perlu dipertimbangkan masyarakat setempat,” tambahnya lagi.

Kedua akademisi sosial dan budaya itu juga memberikan apresiasi terhadap program perbaikan ekonomi masyarakat pesisir (Restoring Coastal Livelihoods, RCL) yang diimplementasikan Oxfam bekerjasama dengan Canada Internasional Development Agency (CIDA) di empat kabupaten di Sulawesi Selatan yakni Maros, Barru, Pangkep dan Takalar. Mereka menilai, pendekatan yang dilakukan dengan memberikan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan kepada kaum perempuan bisa memperbaiki perekonomian masyarakat pesisir. (Nick/Oxfam)