A.
Latar
Belakang
Amandemen UUD 1945 telah membawa
suatu perubahan dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah
dimasukkannya pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
secara konstitusional dalam masa jabatannya. UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan secara ekplisit alasan-alasan dan mekanisme Presiden
dan/Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Pengaturan semacam itu
dimaksudkan supaya tidak ada lagi penjatuhan eksekutif dengan seenakya saja
seperti yang dilakukan Parlemen pada saat konstitusi UUD 1945 belum
diamandemen.
Pemberhentian
presiden (Impeachment) atau orang
lebih mengenalnya dengan sebutan pemakzulan adalah istilah yang tidak asing di
telinga kita. Namun demikian pemakzulan tampaknya lebih familiar dimasyarakat
ketimbang dengan impeachement maupun
forum previlegiatum. Masyarakat banyak yang mengartikan bahwa proses pemakzulan
presiden apapun caranya dinamakan dengan pemakzulan. Padahal pemakzulan sendiri
bukanlah bahasa undang-undang.
Istilah pemakzulan tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945.
Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden[1].
pemakzulan menjadi
hal sangat penting untuk di bahas karena
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan hal yang sangat luar
biasa (extraordinary) dalam hal
bernegara. Pada proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, ada dua
proses yang digunakan, yaitu proses politik di DPR dan MPR, kemudian Proses
Hukum di Mahkamah Konstitusi sebagai Forum
Previlegiatum. Secara singkat proses tersebut dimulai oleh DPR (proses
politik) – MK (proses hukum) – MPR (proses politik). Dalam Penulisan ini akan
membahas bagaimana mekanisme pemakzulan presiden dari proses politik menjadi
sebuah proses hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah Pemakzulan Presiden dan/
atau wakil presiden di Indonesia?
2. Bagaimanakah mekanisme pemakzulan presiden dan/
atau wakil presiden dari proses politik menjadi sebuah proses hukum di tinjau
dari aspek Yuridis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia
Presiden merupakan posisi strategis dalam
bentuk pemerintahan republik yang sangat berperan pada pengelolaan negara. Pada
masa Orde Baru, jabatan Presiden merupakan institusi yang mengalami
problematis. Pertama, di dalam norma konstitusi (UUD 1945) saat itu disebutkan
bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan”. Norma ini melahirkan interpretasi bahwa Presiden yang sama dapat
dicalonkan berkali-kali sepanjang dipilih. Ini melegitimasi rezim otoriterian
Orde Baru.
Kedua, tolok ukur
pemberhentian yang tidak jelas. Sebab, Pasal 8 dan Penjelasan UUD 1945 (Pra
Amandemen) menggunakan indikator salah satu tolok ukur pemberhentian Presiden adalah
pelanggaran haluan negara (Pancasila UUD dan/atau GBHN). Hal ini diperkuat
dengan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 yang mengatur mengenai prosedurnya mulai
dari pemberian memorandum (pernyataan tidak puas) kepada Presiden hingga
dilakukan sidang istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden[2].
Dua orang Presiden
diberhentikan (dimakzulkan) dengan model ini, yakni Soekarno karena pidato
pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara beserta pelengkapnya ditolak oleh
MPRS dalam sidang paripurna MPRS 1967 dan Presiden Abdurrahman Wahid
diberhentikan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001 tanpa memberikan pidato
pertanggungjawaban. Sedangkan Soeharto menggunakan mekanisme “berhenti” sesuai
Pasal 8 UUD 1945 (Pra Amandemen).
Presiden pertama,
Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun.
Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPRS yang menurunkan
secara resminya. Presiden Soekarno diberhentikan
oleh Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) tahun 1967 setelah terbit
Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang menuduh Presiden
Soekarno terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
G30S/PKI adalah
rangkaian skenario kudeta merangkak. Soeharto dan kroni dianggap sebagai aktor
lapangan pemakzulan Soekarno. Ada benturan paham kapitalisme dan ideologi
sosialisme yang acap digelorakan Soekarno di Indonesia. Soekarno dan PKI
dituding sebagai dalang pembunuh enam jenderal secara bengis dan biadab. Wacana
politik berkembang sehingga posisi Presiden Soekarno kian terpojok. Dia
dihabisi secara politik oleh Soeharto dengan rangkaian peristiwa yang diciptakan.
Presiden Orde Baru melekatkan wacana di balik pembunuhan enam jenderal Soekarno
yang di-back-up PKI.
Di tingkat elite kekuasaan, Soekarno semakin lemah. Derasnya
tekanan politik membuat dia dijauhkan dari kursi kekuasaan. Pada arus bawah
anggota simpatisan PKI dibantai dengan sangat keji. Sejarawan Asvi Warman Adam
mengatakan kekejaman dialami PKI mengakibatkan tak kurang 500.000 orang
meninggal.
Presiden kedua Soeharto yang meneruskan kekuasaan Soekarno,
akhirnya mengalami nasib yang hampir sama. Soeharto yang berkuasa hampir 32
tahun dimakzulkan dengan paksaan halus, karena secara defacto rakyat tidak
mendukungnya lagi. Lantaran tidak ingin lebih tragis dari pendahulunya, Soeharto
memakzulkan dirinya sendiri.
Penguasa Orde Baru ini sepertinya tahu diri dengan mengambil
langkah mundur supaya dapat meredam kemarahan rakyat. Setrategi cerdik ini
berhasil menyelamatkannya dari jerat hukum, akibat dituding melakukan praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme bersama kroni-kroninya. Warisan KKN dan utang negara
yang jumlahnya sangat besar inilah yang mengantarkan rakyat Indonesia ke jurang
keterpurukan di semua sektor kehidupan[3].
Presiden ke empat Abdurrahman Wahid yang secara demokratis
dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga
oleh MPR. Kasus Presiden Abdurrahman Wahid atau lazim
dipanggil Gusdur merupakan peristiwa ketatanegaraan menarik. Pada awalnya
Panitia Khusus (Pansus) DPR menyimpulkan bahwa Presiden Gusdur diduga melakukan
penyelewengan dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 milyar dan dana bantuan Sultan
Brunei sebesar Rp. 2 juta dollar AS.
DPR memberikan memorandum sebanyak dua kali dan berpendapat
Presiden Gusdur telah melanggar haluan negara yakni: a) melanggar UUD 1945 pada
Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan b) melanggar Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.
Ternyata Presiden Gusdur tidak mau memberikan
pertanggungjawaban saat diminta ke sidang istimewa MPR bahkan mengeluarkan
maklumat yang berisi: (1) pembekuan DPR/MPR; (2) pemilu dipercepat dalam waktu
satu tahun dan (3) pembubaran Golkar. MPR kemudian melakukan sidang istimewa
dan memberhentikan Presiden Gusdur tanpa adanya pertanggungjawaban Presiden.
Penting dicermati bahwa seluruh proses
di atas berada pada ranah optik politik
dan tidak menggunakan tolok ukur yuridis, khususnya di dalam pembuktian pelanggaran
haluan negara[4]
B. mekanisme
pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden dari proses politik menjadi sebuah
proses hukum di tinjau dari aspek Yuridis
Sebelum membahas
lebih jauh tentang mekanisme pemakzulan presiden dan / atau wakil presiden ,
terlebih dahulu kita mengerti apa arti dari pemakzulan. Pemakzulan adalah
bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan/diberhentikan dari
jabatan secara paksa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pemakzulan mempunyai
arti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Sedangkan definisi makzul yakni
berhenti memegang jabatan,turun tahta[5]
.Oleh sebab itu menurut Mahfud MD penggunakan istilah pemakzulan itu untuk
mempermudah saja. Dari pada bicara dengan kalimat yang panjang ya sebut saja
pemakzulan.[6]
Sehingga peristilahan pemakzulan hanya untuk mempermudah masyarakat
mengartikannya sebagai pemberhentian seseorang dari jabatannya.
Secara
konstitusional, ketentuan mengenai pemakzulan diatur di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan dasar dan sumber
hukum di Indonesia. Proses pemakzulan harus senantiasa berdasarkan konstitusi
sebagai manifestasi terhadap negara berkedaulatan rakyat yang dilaksanakan
berdasarkan UUD 1945 (constitutional democracy).
Dalam UUD 1945 setelah
amandemen telah memuat ketentuan mengenai mekanisme Pemakzulan Presiden dan/
atau Wakil Peresiden. Hal mengenai Pemakzulan dapat dilakukan karena beberapa
alasan, baik apabila terbukti Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau bahwa Presiden
dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau
Wakil Presiden.
Hampir semua
konstitusi Negara mengatur permasalahan “pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan efektif untuk
mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi agar
tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse
of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law.[7]
Namun hal tersebut
kemudian banyak dimanfaatkan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk menjatuhkan
presiden dan /atau wakil presiden. fenomena tersebut dapat kita kaji melalui
peraturan sebelumnya yang ada kaitannya dengan proses pemakzulan,yang mana
Presiden dan/ atau Wakil Presiden sangat mudah dijatuhkan dengan alasan-alasan
politik.
Pada era pra amandemen UUD 1945, tidak ada
aturan yang jelas untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di
tengah masa jabatan. Akbatnya proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dilakukan dengan kesepakatan politik tanpa adanya kejelasan status
hukum. Proses pemakzulan pada waktu itu senantiasa tergantung pada konfigurasi
politik sehingga Presiden dengan sangat mudah diberhentikan oleh parlemen
ketika Presiden tidak mempunyai banyak pendukung di parlemen.
Dengan adanya
amandemen UUD 1945 tersebut, diharapkan tidak ada lagi penjatuhan Presiden dan/
atau Wakil Presiden pada masa jabatannya karena alasan-alasan politis dan
memperkuat sistem ketatanegaraan berdasarkan Negara hukum. Dalam kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya
pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adalah persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan kenyataan
praktek (due process of law)[8] termasuk dalam pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Seperti yang dikatakan Arifin Hendra
Tanujaya[9]
Permasalahan pemakzulan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. dalam praktik
ketatanegaraan di Indonesia. Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah
menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD
1945, meskipun MPR yang menurunkan secara resminya. Hal itu terjadi karena
secara defacto Soeharto memegang
kekuasaan negara. Pemakzulan ini dengan cara “kudeta lembut”.
Presiden kedua,
Soeharto dimakzulkan dengan paksaan halus juga setelah defacto rakyat tidak mendukungnya. Namun, Soeharto “tahu diri”, dia
memakzulkan dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sangat cerdik dan “licin”
sehingga lepas dari jerat untuk dibawa ke pengadilan.
Presiden keempat,
“Gus Dur” yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara
terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Menurut teori pemakzulan presiden
di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar
hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus Dur” tanpa dipanggil terlebuh
dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan tiba-tiba MPR langsung
memakzulkannya. Contoh “masa lalu” pemakzulan “Gus Dur” adalah contoh yang
jelas-jelas terlihat oleh semua pihak bahwa bagaimana lidah para politisi dan
negarawan saat itu memiliki “lidah tak bertulang”.
Di Indonesia dalam
perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut Mahfud M.D. bahwa
secara teoritis pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden menerapkan model
campuran yaitu impeachment (proses
politik) dan forum previligiatum[10].Sistem
proses politik berada pada lembaga
DPR dan MPR,sedangkan pada forum
previlegiatum berada pada pengadilan khusus ketatanegaraan yaitu Mahkamah
Konstitusi.
Hal yang pertama dari proses pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden itu dimulai dari kewenangan lembaga Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) melakukan penyelidikan dengan menggunakan Hak angket,selanjutnya
DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan
hak angket.
Hak
Menyatakan Pendapat merupakan hak yang memiliki bobot politis sangat tinggi
dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Melihat strategisnya fungsi pengawasan
DPR dalam Hak Menyatakan Pendapat, tak berlebihan bila menyebut hak ini sebagai
perwujudan checks and balances oleh
DPR (legislatif) kepada presiden/wakil presiden (eksekutif). Hak ini juga
merupakan bentuk penguatan peran DPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat.[11]
Hak menyatakan pendapat tersebut berisi tentang
pernyataan DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan
oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari
rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR, dan
diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR
yang hadir[12] .Apabila DPR memutuskan menerima usul hak
menyatakan pendapat, DPR akan membentuk
panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan
DPR yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut[13].
Proses selanjutnya, apabila DPR pada akhirnya
menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa memang telah terjadi
pelanggaran, dalam rapat Paripurna DPR akan menengetuk palu kemudian
melanjutkan pendapat atau usulan tersebut ke lembaga peradilan khusus
ketatanegaraan (Mahkamah konstitusi) untuk diadili dan diuji apakah pendapat
DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Pendapat DPR yang
diputuskan dalam rapat paripurna merupakan putusan secara politis. Oleh sebab
itu proses peradilan di Mahkmah Konstitusi adalah untuk membuktikan dugaan
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum, karena Mahkmah Konstitusi sebagai
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang dalam mekanisme pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden memberi justikikasi secara hukum atas pendapat
DPR tersebut.
Setelah pendapat
atau usulan DPR tersebut diperiksa dan diadili, dalam jangka waktu 90 hari ,MK
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945[14]
Amar putusan MK
atas pendapat DPR tersebut terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu :
11.Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan
tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat.
22.Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan
ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan
tindakan yang dituduhkan. DPR tidak dapat meneruskan usul pemakzulan kepada MPR
sebagai pengambil keputusan terakhir dalam hal pemakzulan Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Hal tersebut dilakukan agar tetap menjaga bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden tidak dapat diturunkan tanpa dibuktikan kebenaran
pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat seperti yang divoniskan DPR dalam
Pendapat DPR tersebut.
33.Amar
putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.Namun dalam hal ini Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak serta
merta dapat diberhentikan sejak dibacakannya putusan MK, proses selanjutnya
masih bermuara pada MPR.Dalam hal ini DPR dapat melakukan Sidang Paripurna
untuk meneruskan usul Pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR.
L Lembaga MPR, merupakan pengambil keputusan
terakhir dalam proses pemakzulan presiden dan /atau wakil presiden. Sidang
paripurna MPR untuk memakzulkan presiden harus memenuhi kuorum dihadiri 3/4
jumlah anggota MPR. Adapun keputusan MPR untuk memberhentikan presiden diambil
pada rapat paripurna yang disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir. Presiden pun harus diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam
Sidang Paripurna MPR sebagai pembelaan atas pendapat DPR dan keputusan MK.
Keputusan MPR
ditentukan pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan putusan hukum yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, bukan berarti keputusan politik mengenyampingkan
putusan justisil tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.[15]
Putusan Mahkamah Konstitsusi hanya
sebagai pertimbangan bagi MPR dalam memutuskan Pendapat DPR. Jika pendapat DPR
kemudian langsung saja diusulkan ke MPR, hal tersebut akan berpotensi Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberhentikan hanya dengan alasan-alasan politik
semata.Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR
tersebut, maka pendapat yang sebelumnya merupakan pendapat politik telah
menjadi sebuah pendapat hukum.Hal ini juga bertujuan untuk mendapatkan
legitimasi secara yuridis sehingga proses yang dulunya adalah proses politik
saat ini telah menjadi sebuah proses hokum.
meskipun
pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden dimungkinkan oleh UUD 1945,
peluangnya sangat kecil, jalannya berliku, dan tahapannya di tiga lembaga
negara secara berurutan: proses berlapis-lapis di DPR, proses bertahap di MK,
dan proses berliku di MPR. Konstitusi kita sudah memagari ketat proses
pemakzulan presiden agar tidak terjadi manuver politik yang hanya berdasarkan
politik berdimensi jangka pendek.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
ketatanegaraan mencatat bahwa ada tiga presiden yang pernah dimakzulkan di Indonesia, Pada tahun 1966 rakyat menggugat
Presiden Soekarno karna diduga terlibat
kasus G30S/PKI, pada tahun 1998
terjadi krisis ekonomi sehingga rakyat marah dan melengserkan Soeharto.
Sedangkan zaman Abdul Rahman wahid, MPR memakzulkannya karena diduga melakukan penyelewengan dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunei.
Proses
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah amandemen UU 1945 menggunakan 2 (dua) proses, yaitu proses politik pada lembaga DPR dan MPR,
dan proses forum previlegiatum pada Mahkamah
Konstitusi dengan alur DPR-MK-DPR-MPR, jadi proses Pemakzulan presiden
yang dulu hanya melalui proses politik
sekarang telah menjadi sebuah proses hukum. Dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pemakzulan ini maka pendapat DPR
telah menjadi sebuah pendapat hukum.
B.
Saran
Dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di
Indonesia, hendaknya putusan MK disertai dengan adanya kewajiban MPR untuk
memperhatikan sungguh-sungguh putusan MK tersebut. untuk menjamin pemberhentian tersebut dilakukan
semata-mata berdasarkan atas pertimbangan hukum.
Perlu
adanya agenda penyempurnaan UUD 1945, agar mengenai proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden diatur
secara terperinci, bahwa Pengambil keputusan akhir sebaiknya berada pada
kekuasaan kehakiman yaitu, Mahkamah Konstitusi. Agar
supremasi hukum tetap terjaga
tanpa intervensi politik.
[1] Pasal
7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2]
Ari Wuisang, Pengantar Hukum Lembaga
Negara Pasca Perubahan UUD Tahun 1945, Fakultas Hukum Universitas
Pakuan,2005.
[3]
Dadan Muhammad ramdan, Inilah Presiden Korban Pemakzulan diakses http://news.okezone.com/read/2011/01/13/339/413364/inilah-presiden-korban-pemak
zulan pada tanggal
24 April 2015, pukul 18.40 Wib
[4]
, R. Muhammad Mihradi, “Menguji Tolok Ukur Pemberhentian Presiden”,
Jurnal Keadilan Vol.1 No.2 Juni 2001, hlm.8-9.
[5]
Kamus Bahasa
Indonesia Online, dapat diakses pada http://www.kamusbahasaindonesia.org/makzul,
pada tanggal 21 April 2015, pukul 20.00 wib
[6]
Pemakzulan
Tergantung MK, dapat diakses pada http://sorot.vivanews.com/news/read/134320-_pemakzulan_tergantung_pada_mk_,pada tanggal 21 April 2015,
pukul 20.30 wib
[7]
Seger Widyaiswara Madya, Sekilas tentang Pemberhentian
(impeachment), hal 3.
[8] Putusan
MK no. 23-26/PUU-VII/2010,bagian pokok permohonan poin 2.10 hal 10
[9]
Arifin Hendra Tanujaya, “Antara
Pemakzulan, UUD 1945, Peraturan MK, Pergantian Presiden-Wapres dan Kudeta”,
untuk Jawa Pos dan Kompas – Surabaya, 7 Februari
2010
[10] Moh. Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali
Pers, 2011, hal. 143.
[11]
Fungsi Pengawasan DPR, dapat
diakses pada http://www.republika.co.id
/berita/koran/teraju/14/09/29/ncnckj37-fungsi-pengawasan-dpr ,pada tanggal 22 April 2015,
pukul 23.20
[12]
Pasal 184 ayat 1 dan 4
UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD
[13]
Pasal 185 dan Pasal 186
UU No 27 Tahun 2009. tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD
[14] Pasal 10 ayat (2) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[15]
Laica Marzuki, Pemberhentian Presiden/
Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi Volume 7
Nomor 1, Februari 2010 hal 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar