Rabu, 28 September 2016

Makalah : Pemakzulan Presiden Proses Politik Menjadi Proses Hukum



A.   Latar Belakang

Amandemen UUD 1945 telah membawa suatu  perubahan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah dimasukkannya pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden secara konstitusional dalam masa jabatannya. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan secara ekplisit alasan-alasan dan mekanisme Presiden dan/Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Pengaturan semacam itu dimaksudkan supaya tidak ada lagi penjatuhan eksekutif dengan seenakya saja seperti yang dilakukan Parlemen pada saat konstitusi UUD 1945 belum diamandemen.


Pemberhentian presiden (Impeachment) atau orang lebih mengenalnya dengan sebutan pemakzulan adalah istilah yang tidak asing di telinga kita. Namun demikian pemakzulan tampaknya lebih familiar dimasyarakat ketimbang dengan impeachement maupun forum previlegiatum. Masyarakat banyak yang mengartikan bahwa proses pemakzulan presiden apapun caranya dinamakan dengan pemakzulan. Padahal pemakzulan sendiri bukanlah bahasa undang-undang.

Istilah pemakzulan tidak tertulis dalam konstitusi UUD 1945. Pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945 hanya menyebut, Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden[1]. 

pemakzulan menjadi hal sangat penting untuk di bahas  karena memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan hal yang sangat luar biasa (extraordinary) dalam hal bernegara. Pada proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, ada dua proses yang digunakan, yaitu proses politik di DPR dan MPR, kemudian Proses Hukum di Mahkamah Konstitusi sebagai Forum Previlegiatum. Secara singkat proses tersebut dimulai oleh DPR (proses politik) – MK (proses hukum) – MPR (proses politik). Dalam Penulisan ini akan membahas bagaimana mekanisme pemakzulan presiden dari proses politik menjadi sebuah proses hukum.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah Pemakzulan Presiden dan/ atau wakil presiden di Indonesia?
2.   Bagaimanakah mekanisme pemakzulan presiden dan/ atau wakil presiden dari proses politik menjadi sebuah proses hukum di tinjau dari aspek Yuridis?





BAB II

PEMBAHASAN


A.   Sejarah pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia


Presiden merupakan posisi strategis dalam bentuk pemerintahan republik yang sangat berperan pada pengelolaan negara. Pada masa Orde Baru, jabatan Presiden merupakan institusi yang mengalami problematis. Pertama, di dalam norma konstitusi (UUD 1945) saat itu disebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Norma ini melahirkan interpretasi bahwa Presiden yang sama dapat dicalonkan berkali-kali sepanjang dipilih. Ini melegitimasi rezim otoriterian Orde Baru.

Kedua, tolok ukur pemberhentian yang tidak jelas. Sebab, Pasal 8 dan Penjelasan UUD 1945 (Pra Amandemen) menggunakan indikator salah satu tolok ukur pemberhentian Presiden adalah pelanggaran haluan negara (Pancasila UUD dan/atau GBHN). Hal ini diperkuat dengan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 yang mengatur mengenai prosedurnya mulai dari pemberian memorandum (pernyataan tidak puas) kepada Presiden hingga dilakukan sidang istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden[2].

Dua orang Presiden diberhentikan (dimakzulkan) dengan model ini, yakni Soekarno karena pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara beserta pelengkapnya ditolak oleh MPRS dalam sidang paripurna MPRS 1967 dan Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001 tanpa memberikan pidato pertanggungjawaban. Sedangkan Soeharto menggunakan mekanisme “berhenti” sesuai Pasal 8 UUD 1945 (Pra Amandemen).

Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPRS yang menurunkan secara resminya. Presiden Soekarno diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) tahun 1967 setelah terbit Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang menuduh Presiden Soekarno terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.

 G30S/PKI adalah rangkaian skenario kudeta merangkak. Soeharto dan kroni dianggap sebagai aktor lapangan pemakzulan Soekarno. Ada benturan paham kapitalisme dan ideologi sosialisme yang acap digelorakan Soekarno di Indonesia. Soekarno dan PKI dituding sebagai dalang pembunuh enam jenderal secara bengis dan biadab. Wacana politik berkembang sehingga posisi Presiden Soekarno kian terpojok. Dia dihabisi secara politik oleh Soeharto dengan rangkaian peristiwa yang diciptakan. Presiden Orde Baru melekatkan wacana di balik pembunuhan enam jenderal Soekarno yang di-back-up PKI.

Di tingkat elite kekuasaan, Soekarno semakin lemah. Derasnya tekanan politik membuat dia dijauhkan dari kursi kekuasaan. Pada arus bawah anggota simpatisan PKI dibantai dengan sangat keji. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan kekejaman dialami PKI mengakibatkan tak kurang 500.000 orang meninggal.

Presiden kedua Soeharto yang meneruskan kekuasaan Soekarno, akhirnya mengalami nasib yang hampir sama. Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun dimakzulkan dengan paksaan halus, karena secara defacto rakyat tidak mendukungnya lagi. Lantaran tidak ingin lebih tragis dari pendahulunya, Soeharto memakzulkan dirinya sendiri.

Penguasa Orde Baru ini sepertinya tahu diri dengan mengambil langkah mundur supaya dapat meredam kemarahan rakyat. Setrategi cerdik ini berhasil menyelamatkannya dari jerat hukum, akibat dituding melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme bersama kroni-kroninya. Warisan KKN dan utang negara yang jumlahnya sangat besar inilah yang mengantarkan rakyat Indonesia ke jurang keterpurukan di semua sektor kehidupan[3].

Presiden ke empat Abdurrahman Wahid yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Kasus Presiden Abdurrahman Wahid atau lazim dipanggil Gusdur merupakan peristiwa ketatanegaraan menarik. Pada awalnya Panitia Khusus (Pansus) DPR menyimpulkan bahwa Presiden Gusdur diduga melakukan penyelewengan dana Yanatera Bulog sebesar Rp. 35 milyar dan dana bantuan Sultan Brunei sebesar Rp. 2 juta dollar AS.

DPR memberikan memorandum sebanyak dua kali dan berpendapat Presiden Gusdur telah melanggar haluan negara yakni: a) melanggar UUD 1945 pada Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan b) melanggar Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

Ternyata Presiden Gusdur tidak mau memberikan pertanggungjawaban saat diminta ke sidang istimewa MPR bahkan mengeluarkan maklumat yang berisi: (1) pembekuan DPR/MPR; (2) pemilu dipercepat dalam waktu satu tahun dan (3) pembubaran Golkar. MPR kemudian melakukan sidang istimewa dan memberhentikan Presiden Gusdur tanpa adanya pertanggungjawaban Presiden. Penting dicermati  bahwa seluruh proses di atas  berada pada ranah optik politik dan tidak menggunakan tolok ukur yuridis, khususnya di dalam pembuktian pelanggaran haluan negara[4]



B. mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden dari proses politik menjadi sebuah proses hukum di tinjau dari aspek Yuridis

Sebelum membahas lebih jauh tentang mekanisme pemakzulan presiden dan / atau wakil presiden , terlebih dahulu kita mengerti apa arti dari pemakzulan. Pemakzulan adalah bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan/diberhentikan dari jabatan secara paksa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pemakzulan mempunyai arti proses, cara, perbuatan memakzulkan. Sedangkan definisi makzul yakni berhenti memegang jabatan,turun tahta[5] .Oleh sebab itu menurut Mahfud MD penggunakan istilah pemakzulan itu untuk mempermudah saja. Dari pada bicara dengan kalimat yang panjang ya sebut saja pemakzulan.[6] Sehingga peristilahan pemakzulan hanya untuk mempermudah masyarakat mengartikannya sebagai pemberhentian seseorang dari jabatannya.

Secara konstitusional, ketentuan mengenai pemakzulan diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan dasar dan sumber hukum di Indonesia. Proses pemakzulan harus senantiasa berdasarkan konstitusi sebagai manifestasi terhadap negara berkedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 (constitutional democracy).

Dalam UUD 1945 setelah amandemen telah memuat ketentuan mengenai mekanisme Pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Peresiden. Hal mengenai Pemakzulan dapat dilakukan karena beberapa alasan, baik apabila terbukti Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Hampir semua konstitusi Negara mengatur permasalahan “pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law.[7]

Namun hal tersebut kemudian banyak dimanfaatkan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk menjatuhkan presiden dan /atau wakil presiden. fenomena tersebut dapat kita kaji melalui peraturan sebelumnya yang ada kaitannya dengan proses pemakzulan,yang mana Presiden dan/ atau Wakil Presiden sangat mudah dijatuhkan dengan alasan-alasan politik.
 Pada era pra amandemen UUD 1945, tidak ada aturan yang jelas untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatan. Akbatnya proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan dengan kesepakatan politik tanpa adanya kejelasan status hukum. Proses pemakzulan pada waktu itu senantiasa tergantung pada konfigurasi politik sehingga Presiden dengan sangat mudah diberhentikan oleh parlemen ketika Presiden tidak mempunyai banyak pendukung di parlemen.

Dengan adanya amandemen UUD 1945 tersebut, diharapkan tidak ada lagi penjatuhan Presiden dan/ atau Wakil Presiden pada masa jabatannya karena alasan-alasan politis dan memperkuat sistem ketatanegaraan berdasarkan Negara hukum. Dalam kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adalah persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan kenyataan praktek (due process of law)[8] termasuk dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Seperti yang dikatakan Arifin Hendra Tanujaya[9] Permasalahan pemakzulan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Presiden pertama, Soekarno, dimakzulkan setelah menjadi presiden selama dua puluh tahun. Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945, meskipun MPR yang menurunkan secara resminya. Hal itu terjadi karena secara defacto Soeharto memegang kekuasaan negara. Pemakzulan ini dengan cara “kudeta lembut”.

Presiden kedua, Soeharto dimakzulkan dengan paksaan halus juga setelah defacto rakyat tidak mendukungnya. Namun, Soeharto “tahu diri”, dia memakzulkan dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sangat cerdik dan “licin” sehingga lepas dari jerat untuk dibawa ke pengadilan.

Presiden keempat, “Gus Dur” yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada “Gus Dur” tanpa dipanggil terlebuh dahulu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan tiba-tiba MPR langsung memakzulkannya. Contoh “masa lalu” pemakzulan “Gus Dur” adalah contoh yang jelas-jelas terlihat oleh semua pihak bahwa bagaimana lidah para politisi dan negarawan saat itu memiliki “lidah tak bertulang”.

Di Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut Mahfud M.D. bahwa secara teoritis pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden menerapkan model campuran yaitu impeachment (proses politik) dan forum previligiatum[10].Sistem proses politik berada pada lembaga DPR dan MPR,sedangkan pada forum previlegiatum berada pada pengadilan khusus ketatanegaraan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Hal yang pertama dari proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu dimulai dari kewenangan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penyelidikan dengan menggunakan Hak angket,selanjutnya DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan hak angket.

Hak Menyatakan Pendapat merupakan hak yang memiliki bobot politis sangat tinggi dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Melihat strategisnya fungsi pengawasan DPR dalam Hak Menyatakan Pendapat, tak berlebihan bila menyebut hak ini sebagai perwujudan checks and balances oleh DPR (legislatif) kepada presiden/wakil presiden (eksekutif). Hak ini juga merupakan bentuk penguatan peran DPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat.[11]

Hak menyatakan pendapat tersebut berisi tentang pernyataan DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR yang hadir[12] .Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, DPR akan membentuk  panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut[13].

Proses selanjutnya, apabila DPR pada akhirnya menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran, dalam rapat Paripurna DPR akan menengetuk palu kemudian melanjutkan pendapat atau usulan tersebut ke lembaga peradilan khusus ketatanegaraan (Mahkamah konstitusi) untuk diadili dan diuji apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.

Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna merupakan putusan secara politis. Oleh sebab itu proses peradilan di Mahkmah Konstitusi adalah untuk membuktikan dugaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif  hukum, karena Mahkmah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang dalam mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden memberi justikikasi secara hukum atas pendapat DPR tersebut.

Setelah pendapat atau usulan DPR tersebut diperiksa dan diadili, dalam jangka waktu 90 hari ,MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR  bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud  dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[14]

Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu :
11.Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat.
22.Amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. DPR tidak dapat meneruskan usul pemakzulan kepada MPR sebagai pengambil keputusan terakhir dalam hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal tersebut dilakukan agar tetap menjaga bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak dapat diturunkan tanpa dibuktikan kebenaran pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat seperti yang divoniskan DPR dalam Pendapat DPR tersebut.
33.Amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.Namun dalam hal ini Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak serta merta dapat diberhentikan sejak dibacakannya putusan MK, proses selanjutnya masih bermuara pada MPR.Dalam hal ini DPR dapat melakukan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul Pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR.

L Lembaga MPR, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam proses pemakzulan presiden dan /atau wakil presiden. Sidang paripurna MPR untuk memakzulkan presiden harus memenuhi kuorum dihadiri 3/4 jumlah anggota MPR. Adapun keputusan MPR untuk memberhentikan presiden diambil pada rapat paripurna yang disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Presiden pun harus diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam Sidang Paripurna MPR sebagai pembelaan atas pendapat DPR dan keputusan MK.

  Keputusan MPR ditentukan pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bukan berarti keputusan politik mengenyampingkan putusan justisil tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.[15]

Putusan Mahkamah Konstitsusi hanya sebagai pertimbangan bagi MPR dalam memutuskan Pendapat DPR. Jika pendapat DPR kemudian langsung saja diusulkan ke MPR, hal tersebut akan berpotensi Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan hanya dengan alasan-alasan politik semata.Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR tersebut, maka pendapat yang sebelumnya merupakan pendapat politik telah menjadi sebuah pendapat hukum.Hal ini juga bertujuan untuk mendapatkan legitimasi secara yuridis sehingga proses yang dulunya adalah proses politik saat ini telah menjadi sebuah proses hokum.

meskipun pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden dimungkinkan oleh UUD 1945, peluangnya sangat kecil, jalannya berliku, dan tahapannya di tiga lembaga negara secara berurutan: proses berlapis-lapis di DPR, proses bertahap di MK, dan proses berliku di MPR. Konstitusi kita sudah memagari ketat proses pemakzulan presiden agar tidak terjadi manuver politik yang hanya berdasarkan politik berdimensi jangka pendek.






BAB III

PENUTUP


A.   Kesimpulan
Sejarah ketatanegaraan mencatat bahwa ada tiga presiden yang pernah dimakzulkan di Indonesia, Pada tahun 1966 rakyat menggugat Presiden Soekarno karna diduga terlibat kasus G30S/PKI, pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi sehingga rakyat marah dan melengserkan Soeharto. Sedangkan zaman Abdul Rahman wahid, MPR memakzulkannya karena diduga melakukan penyelewengan dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunei.

Proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah amandemen UU 1945 menggunakan 2 (dua) proses, yaitu proses politik pada lembaga DPR dan MPR, dan proses forum previlegiatum pada Mahkamah Konstitusi dengan alur DPR-MK-DPR-MPR, jadi proses Pemakzulan presiden yang dulu hanya melalui proses politik sekarang telah menjadi sebuah proses hukum. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemakzulan ini maka pendapat  DPR telah menjadi sebuah pendapat hukum.

B.   Saran
    Dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, hendaknya putusan MK disertai dengan adanya kewajiban MPR untuk memperhatikan sungguh-sungguh putusan MK tersebut. untuk  menjamin pemberhentian tersebut dilakukan semata-mata berdasarkan atas pertimbangan hukum.

   Perlu adanya agenda penyempurnaan UUD 1945, agar mengenai proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden diatur secara terperinci, bahwa Pengambil keputusan akhir sebaiknya berada pada kekuasaan kehakiman yaitu, Mahkamah Konstitusi. Agar supremasi hukum tetap terjaga tanpa intervensi politik.




[1] Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2] Ari Wuisang, Pengantar Hukum Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD Tahun 1945, Fakultas Hukum Universitas Pakuan,2005.
[3] Dadan Muhammad ramdan, Inilah Presiden Korban Pemakzulan diakses http://news.okezone.com/read/2011/01/13/339/413364/inilah-presiden-korban-pemak zulan pada tanggal 24 April 2015, pukul 18.40 Wib
[4] , R. Muhammad  Mihradi, “Menguji Tolok Ukur Pemberhentian Presiden”, Jurnal Keadilan Vol.1 No.2 Juni 2001, hlm.8-9.
[5] Kamus Bahasa Indonesia Online, dapat diakses pada http://www.kamusbahasaindonesia.org/makzul, pada tanggal 21 April 2015, pukul 20.00 wib
[6] Pemakzulan Tergantung MK, dapat diakses pada http://sorot.vivanews.com/news/read/134320-_pemakzulan_tergantung_pada_mk_,pada tanggal 21 April 2015, pukul 20.30 wib
[7] Seger Widyaiswara Madya, Sekilas tentang Pemberhentian (impeachment), hal 3.
[8] Putusan MK no. 23-26/PUU-VII/2010,bagian pokok permohonan poin 2.10 hal 10
[9] Arifin Hendra Tanujaya,Antara Pemakzulan, UUD 1945, Peraturan MK, Pergantian Presiden-Wapres dan Kudeta”, untuk Jawa Pos dan Kompas – Surabaya, 7 Februari 2010
[10] Moh. Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal. 143.
[11] Fungsi Pengawasan DPR, dapat diakses pada http://www.republika.co.id /berita/koran/teraju/14/09/29/ncnckj37-fungsi-pengawasan-dpr ,pada tanggal 22 April 2015, pukul 23.20

[12] Pasal 184 ayat 1 dan 4 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD
[13] Pasal 185 dan Pasal 186 UU No 27 Tahun 2009. tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD
[14] Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[15] Laica Marzuki, Pemberhentian Presiden/ Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 1, Februari 2010 hal 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar