Rabu, 16 Mei 2012

Kasus Pencemaran Laut Timor



KASUS PENCEMARAN LAUT TIMOR
oleh : Eko Purnomo

A.    Latar Belakang
Sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut. Pada kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan mengordinasikan laut ataupun dalam memenuhi kebutuhan dari laut, merupakan langkah untuk mewujudkan pelestarian lingkungan laut, sekalian sumber yang terkandung dalam laut tidak terbatas. Didalam mengupayakan laut misalnya penangkapan ikan, jenis ikan yang berlebihan dengan menggunakan pukat harimau sangatlah berbahaya dan dapat menimbulkan kepunahan itu tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu yang pendek[1].


Pencemaran lingkungan laut sangat mendapat perhatian dunia dewasa ini, apakah itu secara Nasional, Regional maupun Internasional disebabkan karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kelestarian lingkungan dan manfaat dari sumber daya alam yang ada di laut menjadi terganggu baik untuk kepentingan nasional negara pantai maupun bagi umat manusia keseluruhannya.
Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.[2]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) No.19/1999tentang “Pencemaran Laut” diartikan sebagai masuknya/dimasukkannya makhlukhidup, zat energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.[3]
Kasus pencemaran lingkungan laut baru mendapat perhatian yang serius dari Negara Indonesia adalah sejak terjadinya kecelakaan Kapal Tanker Showa Maru pada tahun 1975 di Selat Malaka10, yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut Indonesia yang  sangar parah sehingga mengakibatkan kerugian yang sangat besar yang harus di derita oleh lingkungan laut Indonesia
Dalam kasus ini, Indonesia tidak bisa menuntut ganti rugi kepada pemilik kapal, dikarenakan waktu itu negara kita belum ada undang-undang yang mengatur tentang pencemaran lingkungan.
Perlindungan terhadap lingkungan laut, selain upaya yang dilakukan secara nasional, juga diperlukan kerjasama regional maupun global, baik secara teknis langsung dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut, maupun dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut, maupun dalam merumuskan ketentuan-ketentuan internasional, guna melindungi lingkungan laut.[4]
Sekitar tiga tahun yang lalu, masalah pencemaran laut akibat tumpahan minyak kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang bersumber dari Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude oil. Tumpahan minyak tersebut meluas hingga perairan Celah Timor (Timor Gap) yang merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste. Luas efek cemaran tumpahan minyak dari sumur yang terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut sekitar 75% masuk wilayah perairan Indonesia.
Pencemaran ini menjadi masalah yang penting bagi Bangsa Indonesia, karena telah mencemari Lingkungan Laut Indonesia yang memasuki Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Landasan filosofis berdasarkan pasal 192 United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS), dinyatakan bahwa setiapNegara harus menjaga lingkungan laut, yang berarti bahwa dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa ekosistem laut merupakan bagian yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh setiap negara.
Tumpahan minyak yang berasal dari ladang minyak montara, di Laut Timor di lepas pantai utara Western Australia, disebabkan oleh suatu ledakan pada tanggal 21 Agustus 2009. Akibatnya terjadi kebocoran sekitar 400 barrels minyak mentah setiap harinya sampai akhirnya berhasil ditutup 74 hari kemudian. Perkiraan tentang luasnya wilayah yan tertutup lapisan minyak berkisar antara 6,000 km2 menurut Australian Maritime Safety Authority (AMSA), 28,000 km2 berdasarkan pencitraan satelit, sampai 90,000 km2 menurut World Wildlife Fund (WWF).[5] Sejumlah besar lapisan minyak tersebut memasuki perairan yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia, dan diperkirakan mengakibatkan kerugian pada mata pencaharian dari sedikitnya 18,000 nelayan,[6] dan yang masih memerlukan estimasi kerugian terhadap lingkungan laut itu sendiri.
Pemerintah Indonesia mengancam akan melaporkan perusahaan asal Australia, Montara, akibat meledaknya sumur minyak tersebut ke forum internasional jika solusi belum juga tercapai. Ini merupakan suatu tindakan tegas dari Indonesia dalam menghadapi Pencemaran Lingkungan yang terjadi dalam yurisdiksi wilayah Indonesia.
Pengaturan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di laut Indonesia terdapat pada UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), UU No. 9/1985 Tentang Perikanan, UU No.5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 6/1996 Tentang Perairan Indonesia, serta UU No.21/1992 Tentang Pelayaran. Yang kesemua ini telah diratifikasi Indonesia. Sementara mengenai tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran lingkungan laut belum secara khusus diatur dalam UU tersebut.
Secara khusus pengaturan mengenai penerapan ganti rugi atas pencemaran lingkungan laut sangat perlu ditangani segera, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat banyaknya kecelakaan dan kandasnya kapal berakibat tumpahnya minyak ke laut agar lebih dipahami.[7]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji antara lain:
1.      Bagaimanakah dampak dari pencemaran di Laut Timor akibat
            tumpahan minyak ?
        2.    Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa Pencemaran laut Timor ?



-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan benda tak hidup lainnya. Makhluk hidup tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupannya, melainkan berinteraksi dengan lingkungan tempat hidupnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi atau hubungan timbal balik, yang teratur antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang disebut hubungan ekosistem.
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut teritorial yang diukur dari pulau-pulau terluar dan memiliki kedaulatan penuh atas pulau-pulau terluar tersebut. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial.[8]
Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km laut territorial, 2,8 juta km perairan nusantara dan 2,7 km Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.[9]
Pada mulanya orang berfikir bahwa dengan melihat luasnya lautan, maka semua hasil buangan sampah dan sisa-sisa industri yang berasal dari aktifitas manusia yang berada di daratan seluruhnya dapat di tampung oleh lautan tanpa membuat suatu akibat yang membahayakan. Bahan pencemar yang masuk ke dalam lautan akan diencerkan dan kekuatan mencemarnya secara perlahanperlahan akan diperlemah sehingga membuat mereka menjadi tidak berbahaya. Dengan makin cepatnya pertumbuhan penduduk dunia dan makin meningkatnya lingkungan industri mengakibatkan makin banyak bahan-bahan yang bersifat racun yang dibuang ke laut dalam jumlah yang sangat banyak dan sangat sulit untuk dapat dikontrol secara tepat.
Pada dasarnya lingkungan memang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi limbah yang dibuang kedalamnya, namun kemampuaan tersebut pastilah sangat terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang kedalam lingkungan tersebut telah melampaui batas kemampuannya untuk mengabsorbsi maka dikatakanlah lingkungan itu tercemar. Merupakan suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.[10]



 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



BAB III
PEMBAHASAN

      A. dampak pencemaran di Laut Timor
Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.[11]
            Pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian pada tanggal 9 november 2009 kebocoran tersebut dapat diatasi. Selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan negara Republik Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor.Akibatnya, warga negara Indonesia khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil.[12]
Kawasan laut Indonesia yang tercemar tumpahan minyak dari kilang Montara diduga sudah mencapai 90.000 km persegi. Disebutkan pula bahwa skala tumpahannya jauh lebih besar daripada yang terjadi di Teluk Meksiko, walaupun sebenarnya pernyataan ini masih harus diverifikasi ulang terutama dari faktor konversinya, mengingat tumpahan minyak di Teluk Meksiko berkisar antara 35.000 sampai 60.000 baril per hari,  sedangkan yang berasal dari ladang minyak Montara mencapai sekitar 500.000 liter, atau sekitar 3.145 baril per hari.[13]
Saat ini Laut Timor sedang dihadapkan pada ancaman kehancuran sumber daya dan lingkungan. Ini disebabkan oleh pencemaran tumpahan minyak jenis light crude oil yang bersumber dari Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan Australia. Tumpahan minyak itu tidak hanya akan mengakibatkan bencana ekologi, tetapi juga menyebabkan bencana ekonomi. Masyarakat perikanan, baik nelayan, pembudi daya ikan, maupun petani garam, tidak bisa melakukan aktivitas mereka.[14]        
Bukan hanya itu,  Kondisi bawah laut Timor atau dasar laut Timor setelah terjadinya petaka Laut Timor yang ditutup-tutupi oleh perusahaan pencemar Laut Timor dan Pemerintah Australia sedikit terungkap. Terumbu karang di Laut Timor rusak berat diduga diakibatkan oleh puluhan juta tumpahan minyak mentah yang ditenggelamkan oleh AMSA (Australia Maritime Safety Authority) dengan menggunakan bubuk kimia beracun Corexit 9500 yang dikenal dengan sebutan dispersan.
Sehubungan dengan berbagai temuan ini tidak ada alasan bagi PTTEP Australasia,Pemerintah Federal Australia,Pemerintah Negara Bagian Australia Utara dan Pemerintah Republik Indonesia untuk tidak mau melakukan sebuah penelitian ilmiah yang menyeluruh,komprehensif,kredibel dan independen  terhadap dampak pencemaran Laut Timor bagi sosial ekonomi masyarakat,kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Yayasan Peduli Timor Barat dalam rilisnya, Kamis (20/10/2011) mengatakan rakyat Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur,Republik Indonesia membutuhkan sebuah penelitian ilmiah yang patut,menyeluruh,transparan,kredibel dan independen yang harus dibiayai oleh PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia sebagai bentuk pertanggungjawaban petaka pencemaran Laut Timor yang oleh karena kelalaian mereka kami telah menjadi korban.Berdasarkan hasil penelitian tersebut barulah diketahui besarnya ganti rugi dan lain sebagainya.[15]
Tragedi Pencemaran Minyak oleh Montara, merupakan peristiwa kerusakan lingkungan laut terbesar dalam sejarah Australia. Diperkirakan tumpahan minyak ini mengotori wilayah sampai radius sekitar 250 kilometer kearah utara, hingga mencapai perairan Indonesia (Kelompok lingkungan WWF). Lebih dari 400 ribu liter minyak telah tertumpah, sehingga menyebabkan kematian biota laut termasuk ikan paus dan lumba-lumba yang berada diwilayah ini.Bahkan kerusakan lingkungan akibat bencana lingkungan ini, diduga melebihi tragedi minyak teluk meksiko.
           
B. alternatif penyelesaian sengketa Pencemaran laut Timor
UNCLOS 1982 merupakan puncak karya dari upaya dunia internasional atas pembentukan rezim hukum laut menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan, UNCLOS 1982 telah ditanda tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the Ocean). UNCLOS 1982 terdiri dari 17 bagian dan 9 lampiran yang antara lain mengatur tentang: batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara diatas laut, navigasi, riset ilmiah,pertambangan laut, eksploitasi sumber hayati dan non hayati di laut, perlindungan dan pemeliharaan laut serta penyelesaian perselisihan atas eksploitasi dan eksplorasi laut oleh negara-negara peserta. UNCLOS 1982 berlaku 12 bulan setelah tanggal deposit dari instrumen ratifikasi ke enampuluh[16] dan menggantikan Konvensi-Konvensi yang telah dihasilkan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 sebelumnya.[17]
UNCLOS 1982 meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta  untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.[18] Juga menetapkan hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan dari masing-masing negara.[19] UNCLOS 1982 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan bagi kapal perang dan kapal-kapal pemerintah serta kaitan dari Bagian XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut
Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means) yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB.[20] UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other free means),[21] dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu melalui:[22]
a.       Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b.      Mahkamah Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c.       Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d.      Konsiliasi (Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam Lampiran V UNCLOS 1982.
UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikat[23] bagi masing-masing pihak yang bersengketa. Prosedur di dalam persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan mengantikan  prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 sebagaimana telah diuraikan diatas.   
PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Montara Welhead Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari.[24] menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua.[25] Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada PTTEP berujung pada ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar atau setara dengan ± US$ 30 juta .
Dalam konteks penyelesaian klaim warga Timor atas kerugian yang ditimbulkan dari tumpahan minyak Montara di Celah Timor, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono harus mengambil langkah berani untuk dapat menekan Australia melalui jalur-jalur diplomatic yang diatur dalam Hukum International seperti, penyelesaian yudicial, Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan bahkan dapat dibentuk proses penyelidikan (inquiry) agar dapat diperoleh suatu kepastian data dalam proses penuntutan ganti rugi Australia yang memadai, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.[26] 



-- ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




­­­­­BAB III
PENUTUP

    A. Simpulan
 Berdasarkan Uraian Pada Pembahasan, dapat disimpulkan hal sebagai berikut :
1.      Tragedi Pencemaran Minyak oleh Montara, merupakan peristiwa kerusakan lingkungan laut yang dampaknya mengancam kehancuran sumber daya dan lingkungan. Diperkirakan tumpahan minyak ini mengotori wilayah sampai radius sekitar 250 kilometer kearah utara, hingga mencapai perairan Indonesia (Kelompok lingkungan WWF). Lebih dari 400 ribu liter minyak telah tertumpah, sehingga menyebabkan kematian biota laut termasuk ikan paus dan lumba-lumba yang berada diwilayah ini.Bahkan kerusakan lingkungan akibat bencana lingkungan ini, diduga melebihi tragedi minyak teluk meksiko.
2.      Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means) yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB.[27] UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other free means),[28] dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu melalui:[29]
a.       Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b.      Mahkamah Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c.       Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d.      Konsiliasi (Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam Lampiran V UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikat[30] bagi masing-masing pihak yang bersengketa.


B. Saran
Saran yang perlu penulis kemukakan sehubungan dengan makalah ini, yaitu:
1.      Sebaiknya, sedini mungkin Pemerintah RI mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kepentingan nasional Indonesia, guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus Montara serupa di wilayah jurisdiksi Indonesia dikemudian hari.
2.      Hendaknya ada usaha dari pemerintah untuk pembentukan tim independen yang melibatkan para pakar (geologi, lingkungan, perikanan, pertambangan), tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (Indonesia, Australia, dan dunia internasional) untuk identifikasi dampak sosial ekonomi dalam rangka menyusun kompensasi yang layak bagi korban pencemaran
3.      Perlunya pemilik anjungan migas lepas pantai untuk menggunakan skema  asuransi atas resiko yang mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi migas di wilayah jurisdiksi RI, dan lain-lain.
4.      Sebaiknya pihak yang dipercaya di Indonesia meneliti kasus montara ini perlu mempublikasikan hasilnya ke masyarakat melaui website, agar masyarakat juga paham perkembangan kasus yang terjadi.



 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA
          


[1] P.Joko Subagyo, SH. Hukum Laut Indonesia (Jakarta, Reneka Cipta, 1991), hal.31
[2] Juarir Sumardi, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996), hal.1
[3] Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan laut
[4] Pasal 197 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982
[5] Simamora, Adianto P.,”RI to Make Formal Claim in East Timor Spill”, The Jakarta Post, diakses Pada Tanggal 20  Maret 2012
[6] Satriastanti, Fidelis E., ‘Team Travels to Perth for Montara Oil Spill Negotiations’, Jakarta Globe, 27  July, 2010, sebagaimana dimuat dalam http://www.thejakartaglobe.com/home/team-travels-to-perth-for-montara-oil-spillnegotiation/ 388124; Pasandaran, Cameli, Jakarta Globe, diakses Pada Tanggal 20  Maret 2012
[7] Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut (Bandung,
Alumni 1981), hal.22
[8] Pasal 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982.
[9] Kasjian Romimohtarto, Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di
Perairan Indonesia (Jakarta, Seminar Hukum Nasional V, 1990) hal.1
[10] Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional (Bandung, Refika Aditama, 2002) , hal.1
[11] Juarir Sumardi, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996), hal.1
[12] Ella Syafputri., ‘Pencemaran Minyak Montara di laut timor, sebagaimana dimuat dalam http://newberkeley.wordpress.com/tag/pencemaran-minyak-montara/ diakses Pada Tanggal 20  Maret 2012

[13] Yosmina Tapilatu., ‘Menyoal Penanganan Pencemaran Minyak di Laut Timor’, Kompasiana 31 August 2010, sebagaimana dimuat dalam http://green.kompasiana.com/polusi/2010/08/31/menyoal-penanganan-pencemaran-minyak-di-laut-timor/; Kompasiana, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012

[14] Akhmad Solihin., ‘Menyoal Pencemaran Laut Timor’, Koran Suara Karya, 16 Juni 2010, sebagaimana dimuat dalam http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=255363; Suara Karya, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012
[15] Dina Momang., ‘laut timor’, berita online seruu.com, 20 Oktober 2011, sebagaimana dimuat dalam http://www.seruu.com/investigasi/peristiwa/artikel/inilah-kondisi-dasar-laut-timor-setelah-petaka-montara; berita online seruu.com,, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012

[16] Pasal 308 UNCLOS 1982
[17] Pasal 311 UNCLOS 1982
[18] Pasal 192 UNCLOS 1982
[19] Pasal 193 UNCLOS 1982
[20] Pasal 279 UNCLOS 1982
[21] Pasal 280 UNCLOS 1982
[22]  Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[23] Pasal 282 UNCLOS 1982
[24] Website Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), www.walhi.or.id
[25] Tumpahan miyak tersebut memasuki perairan Indonesia di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT)   sejauh 51 mil atau sekitar 80 km tenggara Pulau Rote
[26] Yohanes Bernando Seran., ‘Pencemaran Laut Timor vs Teluk Meksiko’, timorexpress,  08 Jun 2010, sebagaimana dimuat dalam http://timorexpress.com/index.php/index.php?act=news&nid=40038; diakses Pada Tanggal 20  Maret 2012

[27] Pasal 279 UNCLOS 1982
[28] Pasal 280 UNCLOS 1982
[29]  Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[30] Pasal 282 UNCLOS 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar