KASUS PENCEMARAN LAUT TIMOR
oleh : Eko Purnomo
A.
Latar
Belakang
Sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara
lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut. Pada kondisi yang
menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan
sumber daya alam yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan mengordinasikan
laut ataupun dalam memenuhi kebutuhan dari laut, merupakan langkah untuk
mewujudkan pelestarian lingkungan laut, sekalian sumber yang terkandung dalam
laut tidak terbatas. Didalam mengupayakan laut misalnya penangkapan ikan, jenis
ikan yang berlebihan dengan menggunakan pukat harimau sangatlah berbahaya dan
dapat menimbulkan kepunahan itu tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu yang
pendek[1].
Pencemaran lingkungan laut sangat mendapat perhatian
dunia dewasa ini, apakah itu secara Nasional, Regional maupun Internasional
disebabkan karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kelestarian lingkungan
dan manfaat dari sumber daya alam yang ada di laut menjadi terganggu baik untuk
kepentingan nasional negara pantai maupun bagi umat manusia keseluruhannya.
Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh
aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka
masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang
berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara
pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.[2]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya
disebut PP) No.19/1999tentang “Pencemaran Laut” diartikan sebagai
masuknya/dimasukkannya makhlukhidup, zat energi dan atau komponen lain kedalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan
baku mutu dan/atau fungsinya.[3]
Kasus pencemaran lingkungan laut baru mendapat
perhatian yang serius dari Negara Indonesia adalah sejak terjadinya kecelakaan
Kapal Tanker Showa Maru pada tahun 1975 di Selat Malaka10, yang menyebabkan
kerusakan lingkungan laut Indonesia yang
sangar parah sehingga mengakibatkan kerugian yang sangat besar yang
harus di derita oleh lingkungan laut Indonesia
Dalam
kasus ini, Indonesia tidak bisa menuntut ganti rugi kepada pemilik kapal,
dikarenakan waktu itu negara kita belum ada undang-undang yang mengatur tentang
pencemaran lingkungan.
Perlindungan terhadap lingkungan laut, selain upaya
yang dilakukan secara nasional, juga diperlukan kerjasama regional maupun
global, baik secara teknis langsung dalam menangani kasus pencemaran lingkungan
laut, maupun dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut, maupun dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan internasional, guna melindungi lingkungan laut.[4]
Sekitar tiga tahun yang lalu, masalah pencemaran
laut akibat tumpahan minyak kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia.
Tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang bersumber dari
Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut
Timor” perairan Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude
oil. Tumpahan minyak tersebut meluas hingga perairan Celah Timor (Timor
Gap) yang merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Australia dan Timor
Leste. Luas efek cemaran tumpahan minyak dari sumur yang terletak di Blok Atlas
Barat Laut Timor tersebut sekitar 75% masuk wilayah perairan Indonesia.
Pencemaran ini menjadi masalah yang penting bagi
Bangsa Indonesia, karena telah mencemari Lingkungan Laut Indonesia yang memasuki
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Landasan filosofis berdasarkan pasal 192 United
Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS), dinyatakan bahwa
setiapNegara harus menjaga lingkungan laut, yang berarti bahwa dalam pasal ini
memberikan penekanan bahwa ekosistem laut merupakan bagian yang wajib dijaga
dan dilestarikan oleh setiap negara.
Tumpahan minyak yang berasal dari ladang minyak
montara, di Laut Timor di lepas pantai utara Western Australia, disebabkan oleh
suatu ledakan pada tanggal 21 Agustus 2009. Akibatnya terjadi kebocoran sekitar
400 barrels minyak mentah setiap harinya sampai akhirnya berhasil ditutup 74
hari kemudian. Perkiraan tentang luasnya wilayah yan tertutup lapisan minyak
berkisar antara 6,000 km2 menurut Australian
Maritime Safety Authority (AMSA), 28,000 km2
berdasarkan pencitraan satelit, sampai 90,000 km2 menurut
World Wildlife Fund (WWF).[5]
Sejumlah
besar lapisan minyak tersebut memasuki perairan yang berada dibawah yurisdiksi
Indonesia, dan diperkirakan mengakibatkan kerugian pada mata pencaharian dari
sedikitnya 18,000 nelayan,[6]
dan
yang masih memerlukan estimasi kerugian terhadap lingkungan laut itu sendiri.
Pemerintah Indonesia mengancam akan melaporkan
perusahaan asal Australia, Montara, akibat meledaknya sumur minyak tersebut ke
forum internasional jika solusi belum juga tercapai. Ini merupakan suatu
tindakan tegas dari Indonesia dalam menghadapi Pencemaran Lingkungan yang
terjadi dalam yurisdiksi wilayah Indonesia.
Pengaturan mengenai perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup di laut Indonesia terdapat pada UU No. 23/1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE), UU No. 9/1985 Tentang Perikanan, UU No.5/1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 6/1996 Tentang Perairan Indonesia, serta UU
No.21/1992 Tentang Pelayaran. Yang kesemua ini telah diratifikasi Indonesia.
Sementara mengenai tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran lingkungan laut
belum secara khusus diatur dalam UU tersebut.
Secara khusus pengaturan mengenai penerapan ganti
rugi atas pencemaran lingkungan laut sangat perlu ditangani segera, guna
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat banyaknya kecelakaan dan
kandasnya kapal berakibat tumpahnya minyak ke laut agar lebih dipahami.[7]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji antara
lain:
1. Bagaimanakah
dampak dari pencemaran di Laut Timor akibat
tumpahan minyak ?
2.
Bagaimanakah
alternatif penyelesaian sengketa Pencemaran laut Timor ?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh
makhluk hidup bersama dengan benda tak hidup lainnya. Makhluk hidup tidak
berdiri sendiri dalam proses kehidupannya, melainkan berinteraksi dengan
lingkungan tempat hidupnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi atau
hubungan timbal balik, yang teratur antara makhluk hidup dengan lingkungannya
yang disebut hubungan ekosistem.
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki
laut teritorial yang diukur dari pulau-pulau terluar dan memiliki kedaulatan
penuh atas pulau-pulau terluar tersebut. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain
wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara Kepulauan,
perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
dinamakan laut territorial.[8]
Luas
wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km laut territorial, 2,8
juta km perairan nusantara dan 2,7 km Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.[9]
Pada mulanya orang berfikir bahwa dengan melihat luasnya
lautan, maka semua hasil buangan sampah dan sisa-sisa industri yang berasal
dari aktifitas manusia yang berada di daratan seluruhnya dapat di tampung oleh
lautan tanpa membuat suatu akibat yang membahayakan. Bahan pencemar yang masuk
ke dalam lautan akan diencerkan dan kekuatan mencemarnya secara
perlahanperlahan akan diperlemah sehingga membuat mereka menjadi tidak
berbahaya. Dengan makin cepatnya pertumbuhan penduduk dunia dan makin
meningkatnya lingkungan industri mengakibatkan makin banyak bahan-bahan yang
bersifat racun yang dibuang ke laut dalam jumlah yang sangat banyak dan sangat
sulit untuk dapat dikontrol secara tepat.
Pada dasarnya lingkungan memang mempunyai kemampuan
untuk mengabsorbsi limbah yang dibuang kedalamnya, namun kemampuaan tersebut
pastilah sangat terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang
kedalam lingkungan tersebut telah melampaui batas kemampuannya untuk
mengabsorbsi maka dikatakanlah lingkungan itu tercemar. Merupakan suatu
kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan yang
tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu
kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.[10]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PEMBAHASAN
A. dampak
pencemaran di Laut Timor
Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh
aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka
masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang
berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua
negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.[11]
Pada tanggal 21
Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty
Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian pada tanggal 9 november 2009 kebocoran
tersebut dapat diatasi. Selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah
menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan negara Republik
Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor.Akibatnya, warga
negara Indonesia khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor
menderita kerugian baik moril dan materiil.[12]
Kawasan laut Indonesia yang tercemar
tumpahan minyak dari kilang Montara diduga sudah mencapai 90.000 km persegi.
Disebutkan pula bahwa skala tumpahannya jauh lebih besar daripada yang terjadi
di Teluk Meksiko, walaupun sebenarnya pernyataan ini masih harus diverifikasi
ulang terutama dari faktor konversinya, mengingat tumpahan minyak di Teluk
Meksiko berkisar antara 35.000 sampai 60.000 baril per hari, sedangkan
yang berasal dari ladang minyak Montara mencapai sekitar 500.000 liter, atau
sekitar 3.145 baril per hari.[13]
Saat
ini Laut Timor sedang dihadapkan pada ancaman kehancuran sumber daya dan
lingkungan. Ini disebabkan oleh pencemaran tumpahan minyak jenis light crude
oil yang bersumber dari Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok
“West Atlas Laut Timor” perairan Australia. Tumpahan minyak itu tidak hanya
akan mengakibatkan bencana ekologi, tetapi juga menyebabkan bencana ekonomi.
Masyarakat perikanan, baik nelayan, pembudi daya ikan, maupun petani garam,
tidak bisa melakukan aktivitas mereka.[14]
Bukan
hanya itu, Kondisi bawah laut Timor atau dasar laut Timor setelah
terjadinya petaka Laut Timor yang ditutup-tutupi oleh perusahaan pencemar Laut
Timor dan Pemerintah Australia sedikit terungkap. Terumbu karang di Laut Timor
rusak berat diduga diakibatkan oleh puluhan juta tumpahan minyak mentah yang
ditenggelamkan oleh AMSA (Australia Maritime Safety Authority) dengan
menggunakan bubuk kimia beracun Corexit 9500 yang dikenal dengan sebutan
dispersan.
Sehubungan dengan berbagai temuan ini tidak ada alasan
bagi PTTEP Australasia,Pemerintah Federal Australia,Pemerintah Negara Bagian
Australia Utara dan Pemerintah Republik Indonesia untuk tidak mau melakukan
sebuah penelitian ilmiah yang menyeluruh,komprehensif,kredibel dan
independen terhadap dampak pencemaran Laut Timor bagi sosial ekonomi
masyarakat,kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Yayasan Peduli Timor Barat dalam rilisnya, Kamis
(20/10/2011) mengatakan rakyat Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Timur,Republik Indonesia membutuhkan sebuah penelitian ilmiah yang
patut,menyeluruh,transparan,kredibel dan independen yang harus dibiayai oleh
PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia sebagai bentuk pertanggungjawaban
petaka pencemaran Laut Timor yang oleh karena kelalaian mereka kami telah menjadi
korban.Berdasarkan hasil penelitian tersebut barulah diketahui besarnya ganti
rugi dan lain sebagainya.[15]
Tragedi
Pencemaran Minyak oleh Montara, merupakan peristiwa kerusakan lingkungan laut
terbesar dalam sejarah Australia. Diperkirakan tumpahan minyak ini mengotori
wilayah sampai radius sekitar 250 kilometer kearah utara, hingga mencapai
perairan Indonesia (Kelompok lingkungan WWF). Lebih dari 400 ribu liter minyak
telah tertumpah, sehingga menyebabkan kematian biota laut termasuk ikan paus
dan lumba-lumba yang berada diwilayah ini.Bahkan kerusakan lingkungan akibat
bencana lingkungan ini, diduga melebihi tragedi minyak teluk meksiko.
B. alternatif
penyelesaian sengketa Pencemaran laut Timor
UNCLOS 1982
merupakan puncak karya dari upaya dunia internasional atas pembentukan rezim
hukum laut menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10
Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan, UNCLOS 1982 telah ditanda
tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi Lautan (Constitution
for the Ocean). UNCLOS 1982 terdiri dari 17 bagian dan 9 lampiran yang antara
lain mengatur tentang: batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara
diatas laut, navigasi, riset ilmiah,pertambangan laut, eksploitasi sumber
hayati dan non hayati di laut, perlindungan dan pemeliharaan laut serta
penyelesaian perselisihan atas eksploitasi dan eksplorasi laut oleh
negara-negara peserta. UNCLOS 1982 berlaku 12 bulan setelah tanggal deposit
dari instrumen ratifikasi ke enampuluh[16]
dan menggantikan Konvensi-Konvensi yang telah dihasilkan pada Konferensi Hukum
Laut I tahun 1958 sebelumnya.[17]
UNCLOS 1982 meletakkan kewajiban kepada negara-negara
peserta untuk melindungi dan memelihara
lingkungan laut.[18]
Juga menetapkan hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber
kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan dari masing-masing
negara.[19]
UNCLOS 1982 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan bagi kapal perang dan kapal-kapal
pemerintah serta kaitan dari Bagian XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan
Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada
konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut
Di
dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan
ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah
yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means)
yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB.[20]
UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa
untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other
free means),[21]
dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka
UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu
melalui:[22]
a. Mahkamah
Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang
berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b. Mahkamah
Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c. Arbitrase
atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures)
yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d. Konsiliasi
(Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam
Lampiran V UNCLOS 1982.
UNCLOS
1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa
setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan
bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur
untuk memberikan keputusan yang mengikat[23] bagi
masing-masing pihak yang bersengketa. Prosedur di dalam persetujuan bilateral,
regional ataupun persetujuan umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur
tetap bagi pihak yang bersengketa yang akan mengantikan prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982
sebagaimana telah diuraikan diatas.
PTTEP
merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Montara Welhead
Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut
kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari.[24]
menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan Indonesia, terutama di
wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua.[25]
Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim ganti rugi
kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah
Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada PTTEP berujung pada
ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar atau setara dengan ± US$ 30
juta .
Dalam konteks penyelesaian klaim warga Timor atas kerugian yang
ditimbulkan dari tumpahan minyak Montara di Celah Timor, Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono harus mengambil langkah berani untuk dapat menekan Australia
melalui jalur-jalur diplomatic yang diatur dalam Hukum International seperti,
penyelesaian yudicial, Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan bahkan
dapat dibentuk proses penyelidikan (inquiry) agar dapat diperoleh suatu
kepastian data dalam proses penuntutan ganti rugi Australia yang memadai,
terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.[26]
-- ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan Uraian Pada Pembahasan, dapat
disimpulkan hal sebagai berikut :
1. Tragedi
Pencemaran Minyak oleh Montara, merupakan peristiwa kerusakan lingkungan laut yang
dampaknya mengancam kehancuran sumber daya dan lingkungan. Diperkirakan
tumpahan minyak ini mengotori wilayah sampai radius sekitar 250 kilometer
kearah utara, hingga mencapai perairan Indonesia (Kelompok lingkungan WWF).
Lebih dari 400 ribu liter minyak telah tertumpah, sehingga menyebabkan kematian
biota laut termasuk ikan paus dan lumba-lumba yang berada diwilayah ini.Bahkan
kerusakan lingkungan akibat bencana lingkungan ini, diduga melebihi tragedi
minyak teluk meksiko.
2. Di
dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian Perselisihan
ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketalah
yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai (peaceful means)
yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB.[27]
UNCLOS 1982 juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa
untuk mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other
free means),[28]
dan apabila 2 asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka
UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat, yaitu
melalui:[29]
a. Mahkamah
Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea) yang
berkedudukan di Hamburg, Jerman;
b. Mahkamah
Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di Belanda;
c. Arbitrase
atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures)
yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan
d. Konsiliasi
(Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur di dalam
Lampiran V UNCLOS 1982. UNCLOS
1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa
setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui persetujuan
bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu prosedur
untuk memberikan keputusan yang mengikat[30] bagi
masing-masing pihak yang bersengketa.
B. Saran
Saran yang perlu penulis kemukakan sehubungan dengan makalah ini, yaitu:
1. Sebaiknya,
sedini mungkin Pemerintah RI mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
menjamin kepentingan nasional Indonesia, guna mengantisipasi kemungkinan
terjadinya kasus Montara serupa di wilayah jurisdiksi Indonesia dikemudian hari.
2.
Hendaknya ada usaha dari pemerintah
untuk pembentukan tim independen
yang melibatkan para pakar (geologi, lingkungan, perikanan, pertambangan),
tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (Indonesia, Australia, dan
dunia internasional) untuk identifikasi
dampak sosial ekonomi dalam rangka menyusun kompensasi yang layak bagi korban
pencemaran
3.
Perlunya pemilik anjungan migas lepas
pantai untuk menggunakan skema asuransi
atas resiko yang mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi migas di wilayah
jurisdiksi RI, dan lain-lain.
4.
Sebaiknya
pihak yang dipercaya di Indonesia meneliti kasus montara ini perlu
mempublikasikan hasilnya ke masyarakat melaui website, agar masyarakat juga
paham perkembangan kasus yang terjadi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
[1] P.Joko Subagyo, SH. Hukum Laut
Indonesia (Jakarta, Reneka Cipta, 1991), hal.31
[2]
Juarir
Sumardi, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya
Bakti,
1996),
hal.1
[3]
Pasal 1
ayat 2 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran
dan/atau Perusakan laut
[4] Pasal 197 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982
[5]
Simamora,
Adianto P.,”RI to Make Formal Claim in East Timor Spill”, The Jakarta Post, diakses
Pada Tanggal 20 Maret 2012
[6]
Satriastanti,
Fidelis E., ‘Team Travels to Perth for Montara Oil Spill Negotiations’, Jakarta
Globe, 27 July, 2010, sebagaimana
dimuat dalam
http://www.thejakartaglobe.com/home/team-travels-to-perth-for-montara-oil-spillnegotiation/
388124; Pasandaran, Cameli, Jakarta Globe, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012
[7]
Komar
Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut (Bandung,
Alumni
1981), hal.22
[8] Pasal 2 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982.
[9]
Kasjian
Romimohtarto, Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di
Perairan
Indonesia (Jakarta,
Seminar Hukum Nasional V, 1990) hal.1
[10]
Ida Bagus
Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional (Bandung,
Refika Aditama, 2002) , hal.1
[11]
Juarir
Sumardi, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya
Bakti,
1996),
hal.1
[12] Ella Syafputri., ‘Pencemaran Minyak Montara di laut timor’,
sebagaimana dimuat dalam http://newberkeley.wordpress.com/tag/pencemaran-minyak-montara/ diakses Pada
Tanggal 20 Maret 2012
[13] Yosmina Tapilatu., ‘Menyoal Penanganan Pencemaran Minyak di Laut Timor’, Kompasiana 31 August 2010, sebagaimana dimuat dalam http://green.kompasiana.com/polusi/2010/08/31/menyoal-penanganan-pencemaran-minyak-di-laut-timor/; Kompasiana, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012
[14]
Akhmad
Solihin., ‘Menyoal Pencemaran Laut Timor’,
Koran Suara Karya, 16 Juni 2010, sebagaimana dimuat dalam http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=255363; Suara Karya,
diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012
[15]
Dina
Momang., ‘laut timor’, berita online
seruu.com, 20 Oktober 2011, sebagaimana dimuat dalam http://www.seruu.com/investigasi/peristiwa/artikel/inilah-kondisi-dasar-laut-timor-setelah-petaka-montara; berita online
seruu.com,, diakses Pada Tanggal 20 Maret 2012
[16] Pasal
308 UNCLOS 1982
[17] Pasal
311 UNCLOS 1982
[18] Pasal
192 UNCLOS 1982
[19] Pasal
193 UNCLOS 1982
[20] Pasal
279 UNCLOS 1982
[21] Pasal
280 UNCLOS 1982
[22] Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[23]
Pasal 282 UNCLOS 1982
[24] Website
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), www.walhi.or.id
[25] Tumpahan
miyak tersebut memasuki perairan Indonesia di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT)
sejauh 51 mil atau sekitar 80 km
tenggara Pulau Rote
[26]
Yohanes
Bernando Seran., ‘Pencemaran Laut Timor vs Teluk Meksiko’, timorexpress, 08 Jun 2010, sebagaimana dimuat dalam http://timorexpress.com/index.php/index.php?act=news&nid=40038; diakses
Pada Tanggal 20 Maret 2012
[27] Pasal
279 UNCLOS 1982
[28] Pasal
280 UNCLOS 1982
[29] Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 1982
[30]
Pasal 282 UNCLOS 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar