SEJARAH HUKUM ISLAM
oleh :Eko purnomo
A.
SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri bahwa
umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia
Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai
komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial
kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat
menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah
komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah
hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang
sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu
pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di
masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya
berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta
tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu
setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya,
sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah
proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini
dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan
detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, sejak awal kedatangan
agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
Wallahu a’la wa a’lam!
Wallahu a’la wa a’lam!
1. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di
kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama
hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai
gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang
kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.
Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama
di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu
kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad
ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di
wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat
menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa
kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
2. Hukum
Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai
sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu
menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima
hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).
Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer,
dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam
ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini.
Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang
penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep
dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan
ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan
agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam
hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka
upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10].Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10].Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
3. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah
tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal
8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah
satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa
Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi
pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di
masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak
ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah
posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih
di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan
kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang,
mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan.
4. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang
memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun
pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk
kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk
memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan
komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945,
komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang
mewakili kelompok Islam.Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa
BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup
representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar
negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan
Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada
pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.
Dengan rumusan semacam ini
sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan
undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi
rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan
dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang
menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia
mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore
hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir
AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan
menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan
tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan
Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui
rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam
tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950.Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950.Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai
konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini
misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan
UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang
bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa
Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS
pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur,
dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai
upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19
Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasiona] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasiona] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD
Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan
membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari
514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.
Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui
Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait
dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang
menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan
merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja
mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar
Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam
tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam
hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana
jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di
sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan”
Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang
dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah
memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan
aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika
kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama
setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia
pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun
pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas
itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan
Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka
sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.
5. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru
jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis.
Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan
cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu,
Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan
alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno- bersama dengan
PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom.
Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan;
salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya
hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama
ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan
hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil
kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
6. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh
demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah
melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum
Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan
daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan
bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya. .
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era
reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan
langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan
berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum
positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
B.
PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Ismail Sunny, mengilustrasikan
politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan
kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive
source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum
Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap
orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss
dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal
apabila dikodifikasikan dalam perundangundangan nasional.4
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum
Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan
lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan
negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts
politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite
politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite
politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka
peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.
Politik hukum masa Orde Baru
seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan
1993. Kurun waktu 1973- 1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi
kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum
tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang
bersifat ‚netral‛ yang berfungsi bagi rekayasa sosial. Demikian halnya bagi
orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum
nasional.5
Transformasi hukum Islam dalam
bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun)
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas,
pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling
elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh,
diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup dominan di
dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif,
sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.6 Adapun prosedur
pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal
legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik
hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu
undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan
apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu
legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan
perundang-undangan yang layak.
Pendekatan konsepsinal prosedur
legislasi hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah
bahwa pemerintah dan DPR memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang.
Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa ‚Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.‛ Sedangkan
dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa ‚kecuali executive
power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif
power dalam negara.
Berdasarkan pandangan tersebut,
maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan Undang-undang
yang diajukan oleh Pemerintah. Hal ini senada dengan penjelasan pasal 20 ayat
(1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju terhadap semua
rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR sesungguhnya harus
memberikan suatu consent atau kesepakatan dalam arti menerima atau
menolak rancangan undang-undang.
C.
GAGASAN
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Gagasan transformasi hukum Islam
dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut
teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik
tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka
kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas
hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum
kekuasaan negara itu sendiri.
Rousseau misa1nya dalam teori
kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan
hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat Rousseau
tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas
perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya
adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu
undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte generale),
Dalam konteks kenegaraan di
Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga
tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Jadi, munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah
rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih
dahulu harus disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang
pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan
Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI
tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk
memilih salah satu di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham
Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik.24 Dalam
sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai
ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan
idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya
secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan
harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada
gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Undang-undang dinyatakan sebagai
peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat
dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat
masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil
merupakan terjemahan dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang
dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin)
merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama
(gejamenlijk). terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau
penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa
yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang dalam
arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat
umum (algemeen verbidende voorschnften), baik yang dibuat oleh lembaga
tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama, maupun oleh
lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering Kroon, Minister,
Provinde dan Garneente yang masing-masing membentuk Algemene
Maatre gel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Pro vinciale Wetten,
Gemeeteljkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri
Verbiridende Voorschnfteri).25 Jika pengertian wet diidentikan
dengan Presiden dan DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di
Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet.
Dengan kata lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan
atas persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun
materil dan berlaku umum.
Hubungannya dengan undang-undang
pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan kepada UUD 1945
sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah menggariskan bahwa
semua undang-undang di Indonesia adalah undang-undang pokok yang kedudukannya
setara, dan berada di bawah hierarki norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas
dasar itu, maka dapat dipahami bahwa Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda
dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang
diatur dalam ketetapan MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR,
UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.
Di
samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undanan di negara Indonesia
dalam suatu tata susunan hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi
maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut.
Secara umum fungsi dan undang-undang adalah: Pertama, menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua,
pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD
1945; Ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat,
pengaturan di bidang materi konatitusi.
Sedangkan materi muatan
undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het
eigenaarding orderwerp der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening
op de Grondwet yang terjemaahannya sebagai berikut:
‚Grondwet meminjam pemahaman
tentang wet hanyalah dan orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet
membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus
ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain.
Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya, Grondwet (inipun)
berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het
eigenaarding orderwerp der wet)‚28
Apabila pendapat Thorbecke ini
dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada benarnya, karena UUD 1945
ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk undang-undang. Dalam pasal 5
ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama
sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa
materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya
mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan
rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat menjadi
undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau
rnenetapkannva.
D.
PENUTUP
Menyimak perjalanan sejarah
transformasi hukurn Islam, sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis,
politik, sosiologis dan yuridis. Dalam kenyataan hukum Islam di Indonesia telah
mengalami pasang surut seiring degan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara. Ini semua, berakar pada kekuatan sosial budaya mayoritas umat
Islam di Indonesia telah berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan
politik, sehingga melahirkan berbagai kebijakan politik bagi kepentingan
masyarakat Islam tersebut.
Oleh
karena itu, pada bagian akhir ini dapat penulis katakan bahwa hukum Islam di
Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik
itu melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan
realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum
Islam ke dalam sistem hukum Nasiona1. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak
masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang
tidak pernah dapat digugat kebenarannya. Semoga hukum Islam tetap eksis
beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Abdul Ghani, ‚Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989
dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No,
17 Tahun V, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag Tahun, 1994
Amak F.Z., Proses Undang-Undang Perkawinan, Bandung:
aI-Ma’arif, 1976
Anwar. M. Syafi’i, Politik Akomodasi Negara dan
Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, Bandung:
Mizan, 1995
-------------, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina,
1995
Atamimi. A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Pen yelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfiingsi Pengaturan dalam Kurun Watu Pelita 1-Pelita
IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia Jakarta: UI, 1990
-------------, Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Perundang-undangan, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Jakarta,
1979
Basri. Cik Hasan, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam
Bunga Rampai Peradilan Islam I, Bandung: Ulul albab Press, 1997
Castle. Lance, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia,
Surakarta: Hapsara, 1983
Cruch. Harold, The Army and Politics in Indonesia,
Ithaca: Cornell University Press, 1978
Gaffar. Affan, Politik Indonesia: Tradisi Menuju
Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Harahap. M. Yahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam:
Memposisikan Abetraksi Hukum Islam‛ dalam Mimbar Hukum No.5 Tahun II
Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinhapera Islam, 1992
Hassan. Fuad, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara
Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan
Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar