A.
Latar
Belakang
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang tentang Kepailitan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Kepailitan), yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU), kendati berkiblat pada Bankruptcy
Act yang kini berlaku di Amerika Serikat, memiliki perbedaan signifikan
pada implementasi penafsiran hukum. Sementara di Amerika, Debitor bisa dipailitkan
hanya karena satu penyebab, yakni insolvency (benar-benar tidak mampu),
di Indonesia bisa dilakukan karena dua alasan, meskipun sangat mampu (solvency).
Alasan tersebut adalah mempunyai lebih dari
satu Kreditor dan tidak membayar utang yang sudah jatuh tempo, tapi bisa
ditagih[1].
Berkaitan dengan kepailitan BUMN, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa yang berwenang untuk
mengajukan permohonan pailit suatu BUMN yang bergerak dibidang kepentingan
publik adalah Menteri Keuangan (BUMN yang dimaksud adalah contohnya Perum
Pegadaian termasuk PT. Pertamina, PT. PLN, PT. 1 KAI dan Jasa Marga, sedangkan
PT. Hutama Karya bergerak pada bidang konstruksi yang bukan termasuk bidang
kepentingan publik)[2].
PT. Hutama Karya merupakan salah satu BUMN yang
bergerak dibidang jasa konstruksi yang didirikan pada tahun 1973[3].
Sebenarnya PT. Hutama Karya adalah perusahaan Belanda yang sudah ada sejak
zaman Penjajahan Belanda dengan nama Hollandsche Beton Maatschappij yang
selanjutnya dinasionalisasi pada tahun 1961[4]. Setelah
statusnya berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), maka kepemilikan
sahamnya seluruhnya dimiliki oleh pemerintah atau minimal 51% sahamnya dikuasai
oleh pemerintah sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1971 jo Pasal 1 angka 2 Undang-Undang BUMN.
Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor
24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst, PT. Hutama Karya (Persero) sebagai Termohon
Pailit mempunyai utang kepada Kreditornya
yaitu : PT. Jaya Readymix dan PT. Primacoat. selain itu Termohon Pailit juga mempunyai
utang kepada Kreditor lainnya, yaitu : PT. Interworld Steel Mills Indonesia dan
PT. Bina Adidaya. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa syarat
minimal ada 2 (dua) Kreditor dan ada utang yang telah jatuh tempo serta dapat
ditagih telah terpenuhi dalam kasus ini dan oleh karena itu Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pailit melalui putusannya Nomor /Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst
tertanggal 23 Desember 1998 yang dikuatka dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung
Nomor 01 K/N/1999 tertanggal 2 Pebruari 1999.
B.
Rumusan
Masalah
·
Apakah Putusan kepailitan PT. Hutama Karya Sesuai
atau Tidak Dengan Ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ?
BAB II
PEMBAHASAN
Putusan
kepailitan PT. Hutama Karya
Pada awalnya lembaga hukum kepailitan diatur oleh
Undang-undang tentang Kepailitan dalam Faillissements-verordening Staatsblad
1905:217 juncto Staatsblad 1906:348, karena perkembangan
perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang
dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai
sumber, Undang-Undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian
utang-piutang khususnya apabila berkaitan dengan perusahaan asuransi.
Penyeleseaian utang-piutang juga bertambah rumit
sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan
memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi
tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha
dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.
Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements
verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348)[5],
oleh karena itu telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum
memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004
pemerintah memperbaikinya lagi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan
dan PKPU).
Memailitkan lembaga bisnis di Indonesia tidak hanya
terjadi pada lembaga swasta,tetapi terhadap Badan Usaha Milik Negara juga
terdapat beberapa yang dimohonkan pailit,salah satunya adalah PT. Hutama Karya (Persero)
yaitu BUMN yang bergerak dibidang Jasa Konstruksi.
PT. Hutama Karya (Persero) memenuhi
syarat dua wanprestasi tersebut terhadap Kreditornya sesuai dengan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, karena itu Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat menjatuhkan vonis pailit melalui putusannya Nomor
24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst tertangal 23 Desember 1998 yang dikuatkan dengan
putusan Kasasi Mahkamah Agung 48 Sejarah Hutama Karya, Nomor 01 K/N/1999 tertanggal 23 Pebruari 1999.
Jika misalnya PT. Hutama Karya (Persero)
bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara, persoalannya mungkin bisa lain.
Namun, bagi BUMN, apalagi berbentuk perseroan terbatas, setidaknya ada dua
perangkat hukum yang menjadi domain PT. Hutama Karya (Persero). Pertama, UU
BUMN Nomor 19 Tahun 2003, dan kedua, UU PT Nomor 1 Tahun 1995. Jadi Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat sungguh tergesagesa menetapkan putusan, karena meletakkan
UU Pailit Nomor 37 Tahun 2004 menjadi lex specialist terhadap PT. Hutama
Karya (Persero) disbanding Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang BUMN.
PT. Hutama Karya (Persero) selanjutnya mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung karena telah
ditemukannya bukti tertulis baru yang sangat penting yang apabila diketahui dan
diajukan oleh para Pemohon Peninjauan Kembali (PT. Hutama Karya (Persero))
sebelum adanya putusan perkara tersebut, akan menghasilkan putusan yang
berbeda. Permohonan Peninjauan Kembali tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung,
sehingga berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 04 PK/N/1999, PT. Hutama Karya
(Persero) tidak jadi dipailitkan.
Walaupun
Hakim beranggapan bahwa Debitor dalam keadaan
keuangan yang sehat sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk
menolak permohonan pailit. Sekali lagi, dasar
diterima atau ditolaknya permohonan pailit harus didasarkan pada syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Di
Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih
dahulu sebelum diajukan permohonan pailit.
Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga
memberikan pengaturan tentang kondisi keuangan Debitor sebagai syarat untuk
bisa dinyatakan pailit.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU,Debitor dapat dinyatakan Pailit apabila mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih. Jadi, syarat untuk dikabulkannya Permohonan Pailit adalah
harus sedikitnya terdapat dua Kreditor dan satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih.Dengan demikian, telah terbukti dengan sah syarat untuk dapat
dikabulkannya permohonan Pailit tersebut nyata-nyata tidak terpenuhi karena
dalam perkara ini terbukti hanya terdapat satu Kreditor, dan tidak terdapat
satu utang pun yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh Termohon
Peninjauan Kembali kepada para Pemohon Peninjauan Kembali.
Jika Mahkamah Agung berpendapat bahwa utang para
Pemohon Peninjauan Kembali kepada Termohon Peninjauan Kembali telah jatuh tempo
dan dapat ditagih, Permohonan Pailit dari Pemohon Peninjauan Kembali tetap
tidak dapat dikabulkan, mengingat syarat mengenai sedikitnya terdapat dua
Kreditor tidak terbukti
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan Uraian Pada Pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa Putusan kepailitan PT. Hutama Karya telah sesuai dengan
ketentua Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Hal ini didasarkan pada 2 dua
hal,yaitu :
1.
Didasarkan pada ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, syarat adanya utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih tidak terpenuhi, meskipun syarat minimal adanya 2
Kreditor terpanuhi. Pada putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/N/l999 tanggal 23
Februari 1999, utang yang dianggap telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pada
kenyataannya pada surat konfirmasi tersebut sama sekali tidak disebutkan adanya
tanggal jatuh tempo, sehingga hal ini apabila didasarkan pada ketentuan Pasal 2
ayat (1) tersebut di atas, maka syarat untuk dipailitkannya Debitor tidak terpenuhi;
2.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, maka putusan kepailitan PT. Hutama Karya
telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Hal ini dikarenakan
yang menyatakan bahwa yang berwenang mengajukan pailit terhadap BUMN yang
bergerak dibidang kepentingan public adalah Menteri Keuangan, sedangkan PT.
Hutama Karya bukan termasuk BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik,
dengan demikian siapa saja bisa mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Hutama
Karya asalkan memenuhi syarat sebagai Kreditor.
B.Saran
Berdasarkan
pembahasan dan simpulan yang ada, maka penulis memiliki beberapa saran sebagai
berikut:
a. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
harus segera direvisi dengan mencantumkan tes kesehatan keuangan Debitor
sebagai salah satu syarat mengajukan kepailitan;
b. Adanya
pranata Hukum Kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang Debitor kepada
Kreditor-kreditor dapat dilakukan secara seimbang dan adil yang dalam hal ini
tidak membedakan adanya Kreditor separatis, Kreditor preferens, dan Kreditor
konkuren.
[1] Sebagaimana
dimuat dalam http ://www.gagasanhukum.wordpress.com, online internet pada tangal 12 mei 2012 pukul 12.00 wita
[2] Sutan Remy
Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang
Kepailitan, (Jakarta
: Pustaka Utama Grafiti, 2009). Hal. 126
[3] Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1971 tentang Pengalihan Perusahaan Bangunan Negara
“Hutama
Karya” Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
[4] Sebagaimana dimuat dalam “Sejarah
Hutama Karya”, http://www.hutama_karya.com. Online internet tangal 12 mei 2012
pukul 12.05 wita
[5] UU republic Indonesia nomor 37 tahun
2004 tentang kepailitan dan penundaaan kewajiban pembayaran Utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar