A.
Latar
Belakang
Melihat
kedalam kehidupan manusia (yang adalah subjek hukum), berinteraksi satu dengan
yang lainnya tentunya merupakan perbuatan yang sangat lazim dilakukan dalam
segala bidang, tidak terkecuali dala bidang usaha (perdagangan). Bagi bangsa Indonesia sendiri perdagangan tersebut sejak dahulu telah ada dan
terus di lakukan. [1] Pada pertengahan tahun 1997 negara–negara Asia
dilanda krisis moneter yang telah
memporandakan sendi–sendi perekonomian.
Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Indonesia memang tidak sendiri dalam merasakan dampak krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung ikar, sedangkan yang masih dapat bertahanpun hidupnya menderita.Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang pailit, sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.[2]
Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Indonesia memang tidak sendiri dalam merasakan dampak krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung ikar, sedangkan yang masih dapat bertahanpun hidupnya menderita.Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang pailit, sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.[2]
Saat masuk dalam dunia Perdagangan apabila debitor
tidak mampu atau tidak mau membayar utang-utangnya kepada kreditor (disebabkan
oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka debitor dapat
mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk menyelesaikan
persoalan tersebut. Dapat pula debitor atau kreditor mengajukan permohonan
pernyataan pailit dengan harapan agar debitor yang lalai tersebut dinyatakan
pailit oleh hakim melalui putusannya.
Kepailitan pada dunia usaha dimungkinkan dengan bentuk-bentuk
usaha tertentu. Secara sederhana, perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam 4
(empat) bentuk usaha, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation), Koperasi (cooperative)[3].
Dalam pemisahan modal dari kekayaan pribadi pada perusahaan perorangan dalam
kepailitan tidak ada artinya, sebab semua harta kekayaan menjadi jaminan dari
semua utang perusahaan.
Di setiap praktek atau dalam kehidupan sehari-hari
seringkali kita melihat melalui media komunikasi massa, baik media cetak maupun
media elektronik, pihak debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya atau membayar
utang-utangnya kepada kreditor. Kelalaian debitor ini terkadang disebabkan oleh
faktor kesengajaan atau ketidakmauan, dan bisa pula disebabkan oleh keadaan dan
situasi yang sulit atau ketidaksengajaan. Menghadapi hal ini, maka hukum telah
memberikan jalan keluar kepada kreditor untuk menuntut hak-haknya, yaitu dengan
cara mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.
Permohonan pailit pada dasarnya merupakan suatu
permohonan yang diajukan ke Pengadilan Niaga oleh pihak-pihak tertentu atau
penasehat hukumnya karena suatu hal tidak dapat membayar hutang-hutangnya
kepada pihak lain. Debitor dapat mengajukan permohonan pailit apabila mempunyai
dua atau lebih kreditor yang tidak dapat menjalankan kewajibannya yaitu
membayar hutang beserta bunganya yang telah jatuh tempo.
Dalam hal ini
permohonan pailit ditujukan pada Pengadilan Niaga dan Pengadilan Niaga harus
mengabulkan apabila terdapat fakta yang sesuai dengan syarat-syarat untuk
dinyatakan pailit telah terpenuhi oleh pihak yang mengajukan pailit. Sedangkan
putusan permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan Niaga yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan debitor sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004.[4]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud Pemberesan harta
pailit?
2.
Bagaimana penjabaran dari definisi perusahaan perorangan?
3.
Bagaimana
akibat hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemberesan
harta pailit
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang
debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit
oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut
tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para
kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.[5]
Istilah pemberesan harta pailit (insolvency) dalam
Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, sebagai keadaan tidak
mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika
tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu
membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu kamus, insolvency
berarti :
a. Ketidaksanggupan
untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam
perusahaan (bisnis), atau
b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan
asetnya dalam waktu tertentu.[6]
Pemberesan harta pailit merupakan kegiatan penjualan
atau menguangkan harta kekayaan debitur pailit. Pernyataan putusan pailit yang
diucapkan Pengadilan Niaga untuk memenuhi kewajiban debitur pailit pada para
kreditur dengan pelaksanaan pemberesan dilakukan sita umum berdasarkan putusan
Pengadilan Niaga yang berada pada daerah hukum. Sita umum dengan melalui lelang
dan dapat pula dengan dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas.
Pengangkatan Hakim Pengawas dilakukan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan.
Permohonan pernyataan pailit didaftarkan malalui Panitera Pengadilan.
Pengadilan Niaga yang memproses masalah perniagaan yang berada dalam lingkungan
peradilan umum.
Pengurusan dan atau pemberesan oleh Kurator Balai
Harta Peninggalan untuk mendaftarkan semua harta (budel) pailit, mengumumkan
ikhtisar putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar
yang berskala nasional, memanggil para kreditur untuk mendaftarkan tagihan,
pencocokan (verifikasi) piutang,
perdamaian yang ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dengan terpenuhinya persyaratan administratif dan pendataan semua
harta kekayaan debitur pailit dengan demikian, pemberesan harta debitur pailit demi
hokum dilaksanakan.
Tujuan
utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas
kekayaan debitur oleh kurator.[7]
Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai
dengan hak masing-masing. Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu
lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam
keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada
dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:[8]
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi
jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap
bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga
memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh
kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai
suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian
konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal
1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan
adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah
diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang
proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Bahwa kekayaan debitur (pasal 1131)
merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal 1132) secara
proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).”
B.
Perusahaan
Perorangan
Secara umum,perusahaan didefinisikan sebagai suatu
organisasi produksi yang menggunakan yang menggunakan dan mengkoordinir
sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan.
Berdasarkan definisi diatas maka dapat dilihat adanya lima unsure penting dalam
sebuah perusahaan,yaitu organisasi,produksi,sumber ekonomi,kebutuhan dan cara
yang menguntungkan. Adapun jenis-jenis perusahaanUsaha Perseorangan,Firma (Fa),
Perseroan Komanditer (CV), Yayasan, Perseroan Terbatas Negara
(Persero),Perusahaan Daerah (PD),Perusahaan Negara Umum (PERUM), Perusahaan
Negara Jawatan (PERJAN),Koperasi, dan Perseroan Terbatas (PT).[9]
Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel (WvK) istilah
dalam bahasa Belanda. Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)
atau Burgerlijk Wetboek (BW) juga menjadi sumber hokum perusahaan.[10]
Berbicara
tentang perusahaan perseorangan, hingga saat ini belum ada undang-undang yang
memberikan penafsiran resmi tentang apa (secara terminologi yuridis) tentang
perusahan perseorangan itu sendiri, sehingga sampai dengan saat ini yang di
gunakan adalah sebatas doktrin / pendapat para sarjana (pakar) hukum saja.
Seperti dari Eddi Sopian yang mengatakan “Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yag dimiliki oleh perusahaan perseorangan, yang bukan badan hokum.[11]
Seperti dari Eddi Sopian yang mengatakan “Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yag dimiliki oleh perusahaan perseorangan, yang bukan badan hokum.[11]
Perusahaan perseorangan adalah salah satu bentuk
usaha yang dimiliki oleh seseorang dan ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
semua resiko dan kegiatan perusahaan (Basswasta:2002). Perusahaan perseorangan
adalah usaha yang didirikan oleh seorang pengusaha (Hatta:2000) Perusahaan
perseorangan adalah perusahaan yang dimiliki, dikelola, dan dipimpin oleh
seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktivitas
perusahaan (Murti Sumarai, Jhon Suprianto:2003).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa perusahaan perseorangan adalah suatu bentuk usaha yang didirikan,
dimiliki, dan dikelola seseorang. Perusahaan perseorangan banyak sekali dipakai
di Indonesia. Bentuk perusahaan ini biasanya dipakai untuk kegiatan usaha
kecil, atau pada saat permulaan mengadakan kegiatan usaha, misalnya dalam bentuk
toko, restaurant, bengkel, dll. Walaupun jumlah perusahaan yang ada relatif
banyak, tetapi volume penjualan masing-masing relatif kecil jika dibandingkan
perusahaan lain.[12]
Mini market dan restaurant adalah contoh dari jenis
perusahaan dagang, sednagkan salon, bengkel motor adalah contoh dari perusahaan
jasa, sednag industri rumah (home industry), kerajinan perak / anyaman
merupakan contoh perusahaan perseorangan di bidang industri.
Dalam perkembangannya hingga dewasa ini perusahaan
perseorangan tersebut tidak mengalami banyak perubahan yang signifikan.
Perkembangan secara yuridis normatif (perundang-undangan) mengenai perusahaan
perseorangan ini juga tidak ada hingga saat ini, belum ada suatu undang-undang
khusus yang mengaturnya, hanya saja telah terjadi perkambangan dan sedikit
perubahan dalam hal perijinan, banyak usaha kecil dan perseorangan yang
dahulunya tidak mempunyai ijin sekarang telah ramai-ramai mulai mengurus
perijinan tersebut. [13]
C.
Akibat Hukum Dari Pemberesan Pailit Pada Perusahaan Perorangan
Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai
pengaruh bagi debitor dan harta
kekayaannya. Pasal 24 Undang-undang Kepailitan
Nomor 37 Tahun 2004[14]
menyebutkan bahwa terhitung sejak ditetapkannya
putusan pernyataan pailit, debitor demi Hukum kehilangan hak
menguasai dan mengurus kekayaannya
(Persona Standi In Ludicio), artinya debitor
pailit tidak mempuntai kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan debitor dialihkan kepada kurator
atau Balai Harta Peninggalan yang
bertindak sebagai kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
namun demikian, sesudah pernyataan kepailitan
ditetapkan debitor masih dapat
mengadakan perikatan-perikatan. Hal ini akan mengikat bila perikatan-perikatan yang dilakukannya
tersebut mendatangkan keuntungan –
keuntungan debitor. Hal tersebut
ditegaskan didalam Undang-undang
Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 yang menentukan
bahwa semua perikatan debitor pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit
itu, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi
harta pailit.[15]
Adapun Konsekuensi hukum dengan terjadinya
pemberesan harta debitur pailit, adalah penjualan harta pailit dan dibagi
kecuali ada pertimbangan bisnis yang menyebabkan penundaan sita umum dan
penundaan pembagian yang akan lebih menguntungkan. Pada prinsipnya tidak ada
rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal pemberesan tersebut diatas tidak
tercapai perdamaian, dan harta debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya.[16]
Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa
rehabilitasi hanya mungkin dilakukan antara lain apabila ada perdamaian atau
utangnya dapat dibayar penuh. Jika setelah pemberesan terdapat harta debitur
pailit sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian, karenanya
rehabilitasi tidak dapat diajukan.
Bahwa dengan putusan pernyataan pailit, banyak
akibat yuridis diberlakukan kepadanya oleh Undang-undang.[17]
Akibat yuridis tersebut, berlaku demi hukum dan tidak secara otomatis berlaku,
akan tetapi baru berlaku jiak diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah
mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Dalam hal ini, Kurator Balai
Harta Peninggalan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengadilan
Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator Balai Harta Peninggalan.
Pemutusan hubungan kerja para karyawan, putusan
pernyataan pailit ada karyawan yang bekerja pada debitur pailit. Maka baik
karyawan maupun Kurator Balai Harta Peninggalan sama-sama berhak untuk
memutuskan hubungan kerja.
Debitur pailit kehilangan hak mengurus, konsekuensi
hukum yang cukup fundamental dari kepailitan adalah bahwa debitur pailit
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya terhitung sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan. Dengan demikian, kekuasaan yang hilang
dari debitur pailit adalah :
a. Pengurusan
harta kekayaannya.
b. Penguasaan harta kekayaannya.
Berdasarkan
hal tersebut dapat dijelaskan hal-hal lain yang tidak termasuk ke dalam
pengurusan atau penguasaan harta kekayaan masih tetap dimiliki kewenangannya
oleh debitur pailit. Dalam hal memiliki kewenangan dalam mengurus keluarganya.
***
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan Uraian Pada Pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Istilah
pemberesan harta pailit (insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1)
Undang-undang Kepailitan disebutkan, sebagai keadaan tidak mampu membayar,
artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika tidak terjadi
perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh
utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu kamus, insolvency berarti :
a. Ketidaksanggupan
untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam
perusahaan (bisnis), atau
b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan
asetnya dalam waktu tertentu.[18]
2. Perusahaan
Perorangan (Sole Propritorship) adalah badan hukum dengan bentuk usaha
yang menjalankan perusahaan secara terus-menerus, menjalankan perusahaan dengan
terang-terangan, memperoleh keuntungan dan atau laba secara ekonomis serta
adanya obyek usaha dan dengan membuat pembukuan. Dalam perkembangan selanjutnya
pengertian perusahaan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang
Wajib Daftar Perusahaan, dalam Pasal 1 huruf (b) definisi Perusahaan adalah
setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan
terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
3. Aibat
hukum dari pemberesan harta pailit pada perusahaan perorangan, kegiatan menjual
harta kekayaan debitur pailit untuk menutupi ongkos kepailitan dan membayar
semua kewajiban debitur pada para kreditur sesuai dengan kedudukan kreditur
mana yang dapat didahulukan dan pembayaran pada kreditur konkuren dengan
prosentase yang di setujui oleh Hakim Pengawas.
B.Saran
Berdasarkan
pembahasan dan simpulan yang ada, maka penulis memiliki beberapa saran sebagai
berikut:
·
azas-azas yang terkandung dalam
Undang-undang Kepailitan, yaitu azas keseimbangan, azas kelangsungan, azas keadilan
dan integrasi dapat diwujudkan oleh setiap unsur yang menjalankan dalam proses,
prosedural, pengurusan dan pemberesan kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Yani, et al, Seri Hukum
Bisnis – Kepailitan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada., 2004, hal 1.
Johannes Ibrahim, Hukum
Organisasi Perusahaan – Pola Kemitraan dan Badan Hukum,
Bandung
: PT. Refika Aditama, 2006, hal 21.
J. Djohansah. “ Pengadilan Niaga”
di dalam Rudy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ( Bandung: Alumni, 2001). Hlm. 23
Jack. P. Friedman, Dictionary
Of Businness Terms, Educational Series, New York, USA :
Barron’s,
Inc, 1987, hal 289
Mosgan Situmorang. “Tinjauan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998
menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1, hlm. 163. 1999
Sri Redjeki Hartono, “ Hukum
Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2
hlm. 37 Tahun 2000.
Nengah Mudani, Wawancara
dengan Sekretaris Balai Harta Peninggalan, Pada tanggal 14
Maret
2007, Semarang.
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian
Hukum Dagang Indonesia 1, Cetakan 9, Jakarta ; Penerbit
Djambatan,
1991, hal 6.
Eddi Sopandi, Beberapa Hal dan
Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003, Hal 24
Sebagaimana dimuat dalam http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2007/04/sekilas-mengenai-perkembangan.html diakses pada
tanggal 26 mei 2012 pukul 18.33 eita
Sebagaimana dimuat dalam http://organisasi.org/bentuk_jenis_macam_badan_usaha_
organisasi_bisnis_perusahaan_pengertian_dan_definisi_ilmu_sosial_ekonomi_pembangunan
diakse pada tanggal 26 mei 2012 pukul 17.38 wita
Sebagaimana dimuat dalam http://kohseto.wordpress.com/2011/06/16/analisis-kasus-kepailitan-kelompok-seto-dkk/ diakses pada
tangal 26 mei 2012 pukul 18. 40 wita
Sebagaimana dmuat dalam http://fadhli-ilmukelautan.blogspot.com/2009/04/
perusahaan-perseorangan.html diakses pada tanggal 26 mei 2012, pukul
17.34 wita
Sebagaiimana dimuat dalam
http://krediturpailit.wordpress.com/uu-no-37-tahun-2004/ : diakses pada tanggal
26 mei 2012, pukul 18.37 wita
Sebagaimana dimuat dalam http://eprints.undip.ac.id/16632/1/ARTOMO_
ROOSENO.pdf
diakses pada tanggal 26 mei 2012 pukul 18.39 wita
Sebagaimana dimuat dalam http://kohseto.wordpress.com/2011/06/16/analisis-kasus-kepailitan-kelompok-seto-dkk/ diakses pada
tangal 26 mei 2012 pukul 18. 40 wita
[1] Sebagaimana dimuat dalam http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2007/04/sekilas-mengenai-perkembangan.html diakses pada tanggal 26 mei 2012
pukul 17.00 wita
[2] Ahmad Yani, et
al, Seri Hukum Bisnis – Kepailitan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.,
2004,
hal
1.
[3] Johannes
Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan – Pola Kemitraan dan Badan Hukum,
Bandung
: PT. Refika Aditama, 2006, hal 21.
[4] Sebagaimana dimuat dalam http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2007/04/sekilas-mengenai-perkembangan.html diakses pada tanggal 26 mei 2012
pukul 18.33 eita
[5] J. Djohansah. “ Pengadilan
Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( Bandung: Alumni, 2001). Hlm. 23
[6] Jack. P.
Friedman, Dictionary Of Businness Terms, Educational Series, New York, USA
:
Barron’s,
Inc, 1987, hal 289
[7] Mosgan Situmorang. “Tinjauan
Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun
1998 menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1, hlm. 163. 1999
[8] Sri Redjeki Hartono, “ Hukum
Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2
hlm. 37 Tahun 2000.
[9] Sebagaimana dimuat dalam http://organisasi.org/bentuk_jenis_macam_badan_usaha_
organisasi_bisnis_perusahaan_pengertian_dan_definisi_ilmu_sosial_ekonomi_pembangunan
diakse pada tanggal 26 mei 2012 pukul 17.38 wita
[10] H.M.N.
Purwosutjipto, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1, Cetakan 9, Jakarta ;
Penerbit
Djambatan,
1991, hal 6
[11] Eddi Sopandi, Beberapa Hal dan
Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003, Hal 24
[12] Sebagaimana dmuat dalam http://fadhli-ilmukelautan.blogspot.com/2009/04/perusahaan-perseorangan.html diakses pada tanggal 26 mei
2012, pukul 17.34 wita
[13] Sebagaimana dimuat dalam
http://hukumbisnislucky.blogspot.com/2007/04/sekilas-mengenai-perkembangan.html : diakses pada tanggal 26 mei 2012, pukul
18.02 wita
[14] Sebagaiimana dimuat dalam
http://krediturpailit.wordpress.com/uu-no-37-tahun-2004/ : diakses pada tanggal
26 mei 2012, pukul 18.37 wita
[15] Sebagaimana dimuat dalam http://eprints.undip.ac.id/16632/1/ARTOMO_ROOSENO.pdf diakses pada tanggal 26 mei 2012
pukul 18.39
[16] Nengah Mudani, Wawancara
dengan Sekretaris Balai Harta Peninggalan, Pada tanggal 14
Maret
2007, Semarang.
[17] Sebagaimana dimuat dalam http://kohseto.wordpress.com/2011/06/16/analisis-kasus-kepailitan-kelompok-seto-dkk/ diakses pada tangal 26 mei 2012
pukul 18. 40 wita
[18] Jack. P.
Friedman, Dictionary Of Businness Terms, Educational Series, New York,
USA :
Barron’s,
Inc, 1987, hal 289
Tidak ada komentar:
Posting Komentar