1.Penggunaan istilah Kejahatan internasional dan pidana internasional, manakah yang paling tepat dan kemukakan alasanya ?
Jawab :
Penamaan
mata kuliah Hukum Humaniter dan Hukum Kejahatan Internasional pada dasarnya
tidaklah tepat dalam studi literatur. Hal ini dikarenakan penamaan yang lebih
dikenal adalah hukum pidana internasional dan atau hukum kejahatan
internasional. Hukum kejahatan internasional merupakan penamaan umum untuk
menggambarkan peristiwa yang bertaut dengan tindak pidana atau kejahatan,
sedangkan hukum humaniter merupakan hal yang bersifat spesifik dimana hukum humaniter
merupakan salah satu bagian dari hukum kejahatan internasional.
Sehingga
yang menjadi fokus perkuliahan akan tetap ditekankan pada hukum pidana
internasional dan atau hukum kejahatan internasional dimana hukum humaniter
merupakan salah satu sub yang akan dijelaskan selama perkuliahan berlangsung
2.
Jelaskan
Pengertian Hukum Humaniter menurut Muchtar Kusumahadmadja ?
Jawab :
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri
dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri.
Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang
memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang
yang mengatur tentang perang tersebut.
3.
Mochtar
Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian, sebutkan dan jelaskan
kedua bagian tersebut ?
Jawab :
a. Ius ad bellum
yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
b. .
Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi :
·
Hukum yang mengatur cara dilakukannya
perang (the conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague
Laws.
·
Hukum yang mengatur perlindungan
orang¬-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar
Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari
hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan
dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang
menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.
4.
Apa
Pengertian Hukum Humaniter Menurut Esbjorn
Rosenblad
?
Esbjorn
Rosenblad, yang membedakan antara :
1. Hukum
sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah seperti
:
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Penduduk di wilayah pendudukan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Penduduk di wilayah pendudukan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
2. Sedangkan
hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum
sengketa bersenjata, yang mencakup antara lain masalah :
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.
5. Apa yang dimaksud dengan hukum Den hag ?
Jawab
:
Hukum Den Haag atau The Hague
Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian
ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara
(metoda) berperang. Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan
ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda.
6.
Apa
yang dimaksud dengan hukum jenewa ?
Jawab
:
Hukum Jenewa atau The
Geneva Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian
ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai perlindungan para korban
perang (protection of war victims); baik terdari dari kombatan maupun
penduduk sipil. Disebut dengan Hukum Jenewa, karena hampir sebagian besar
ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dihasilkan di kota Jenewa, Swiss.
7.
Apakah
yang menjadi dasar Utama dari Hukum Humaniter Internasional ?
Jawab :
Dasar
utama bagi Hukum Humaniter adalah hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; yakni
seperangkat Konvensi-konvensi Den Haag hasil dari Konferensi Perdamaian I dan
II, serta Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 beserta kedua Protokol
Tambahannya tahun 1977.
8.
Sebutkan
Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional yang Fumndamental, jelaskan?
Jawab :
a.
Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-Prinsip
kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metoda berperang
yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata.
Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai ketentuan
untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan
perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi
penderitaan manusia dimanapun ditemukan.
Prinsip ini
bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip
ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama
dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak
menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat
kelas atau politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan,
memberikan prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak
b.
Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa
yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran
militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu
obyek sipil menjadi sararan militer apabila memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan demikian, prinsip keterpaksaan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa
suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi
persyaratan tertentu.
c.
Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional,
setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang
memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di
pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta
benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung
dari serangan tersebut.
d.
Distinction (pembedaan)
Semua
pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta
tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan
dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak
boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip
pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil.
e.
Prohibition of causing unnecessary suffering ( prinsip HHI tentang
larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan
menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle
of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan
aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini
berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar
adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.
f.
Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in
bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak
dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan
perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak yang bersengketa tanpa
melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.
g.
Ketentuan minimal HHI.
HHI telah dilengkapi
dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik
bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non internasional. Ketentuan
minimal yang dimuat di Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-Konvensi
Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya dalam semua dalam Konvensi Jenewa I s/d IV).
Masing-masing prinsip
HHI ini bersumberkan tidak pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari
bermacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian dari suatu sistem
HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan membantu
penafsirannya.
9. Apa
tujuan dari Hukum Humaniter ?
Jawab :
Pertikaian
bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum
humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar
suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum
humaniter adalah memanusiaakan perang. Di samping itu ada beberapa tujuan hukum
humaniter yaitu (Arlina permanasari dkk, 1999:12)
a. Memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang
tidak perlu;
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan
secara manusiawi;
c. Mencegah
dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting
adalah asas perikemanusiaan.
Jadi
tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan
kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan
untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu
dalam situasi konflik bersenjata.
10. Apa
saja asas-asas hokum Internasional ?
Jawab
:
Asas
hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34).
HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Arlina dkk, 1999:11).
a. Asas
kepentingan militer\
Berdasarkan
asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b. Asas
Perikemanusiaan
Menurut
asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan,
di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu..
c. Asas
kesatriaan
Berdasarkan
asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang
bersifat khianat dilarang.
Dalam
situasi sengketa bersenjata pihak lawan diperbolehkan untuk menggunakan
berbagai strategi untuk menundukkan lawannya supaya kemenangan berada di
pihaknya. Tetapi harus memperhatikan berbagai asas yang lain yaitu harus
memperhatikan asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan, yaitu perang harus
dilaksanakan dengan jujur dan harus memperhatikan aspek kemanusiaan.
11. APakahah Aturan dasar dari Hukum
Humaniter Internasional?
Jawab :
a.
Orang
yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan
dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
b.
Membunuh
atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
c.
Korban
luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang
menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus
dihormati sebagai tanda perlindungan.
d.
Kombatan
dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan
dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan
menerima bantuan kemanusiaan.
e.
Tak
seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang
kejam atau merendahkan martabat.
f.
Pihak
peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang
tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
g.
Pihak
peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan.
Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[1]
12. Apa yang dimaksud dengan Combatan ?
Jawab :
Kombatan (combatant)
adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran
atau medan peperangan.
13. Siapa sajakah Combatan ?
Jawab :
Kombatan (combatant) adalah
orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran atau medan
peperangan. berikut disebutkan kembali siapa saja yang dapat dianggap sebagai
kombatan :
a. Angkatan Bersenjata resmi (reguler)
dari suatu Negara
b. Milisi dan Korps Sukarela
c. Levee en masse
d. Gerakan perlawanan yang terorganisir
(Organize Resistance Movement), seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas,
partisans, maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars,
panjsheries, mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation
tiger, mau-mau, fedayins, dan sebagainya.[2]
Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan
“non-kombatan” adalah anggota Angkatan Bersenjata yang tidak ikut bertugas di
garis depan medan pertempuran. Mereka sebenarnya juga kombatan.
14. Apa arti prinsip pembedaan ?
Jawab :
Prinsip Pembedaan (distinction principle)
merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi
penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam
konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant)
dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang
secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah
golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.[3]
Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan
penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), maka prinsip pembedaan
ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa
menjadi dua kategori pula, yaitu objek-objek sipil (civilian objects)
dan sasaran-sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah
semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan
sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk
dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan
berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. Suatu objek yang dianggap
sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti
tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang, akan tetapi yang termasuk
sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer
berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter.
15. Apa asas umum prinsip pembedaan ?
Jawab :
Menurut Jean Pictet,[4]
prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione
personae yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus
mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer.
Penjabaran dari asas tersebut adalah harus diterapkannya hal-hal seperti di
bawah ini :
a. Pihak-pihak
yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.
b. Penduduk
dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek serangan.
c. Dilarang
melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk
menyebarkan teror terhadap penduduk sipil.
d. Pihak-pihak
yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan
untuk menyelamatkan penduduk sipil, atau setidak-tidaknya untuk menekan
kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
e. Hanya
anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan bertempur melawan musuh.
Jadi, secara normatif prinsip ini dapat
mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan
terhadap penduduk sipil. Dengan demikian berarti memperkecil kemungkinan
terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai
kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan dengan sengaja.
16. Apa dasar hukum prinsip pembedaan
dalam Hukum Humaniter ?
Jawab :
Sebagai
prinsip pokok, prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen
Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa
1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977
17. Mengapa penduduk perlu dibedakan
menjadi dua golongan ketika terjadi peperangan ?
Jawab
:
Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah
untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam
pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam
kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan
adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus
melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus
membunuh musuh sekalipun); karena jika tidak demikian, maka merekalah yang akan
menjadi sasaran serangan musuh. Istilahnya, “to kill, or to be killed“.
Semua orang yang termasuk ke dalam golongan kombatan ini adalah sasaran atau
objek serangan, sehingga apabila kombatan membunuh kombatan dari pihak musuh
dalam situasi peperangan, maka hal tersebut bukanlah merupakan tindakan yang
melanggar hukum.
Sebaliknya, golongan yang disebut dengan penduduk
sipil (civilian) adalah golongan yang tidak boleh turut serta dalam
pertempuran sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan.[5]Hal
ini sangat penting ditekankan karena yang namanya perang, sejatinya hanyalah
berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bersengketa.
Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus
dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini sudah diakui
sejak zaman kuno. Hal ini dapat dilihat dari setiap kodifikasi hukum modern
yang kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari
kekejaman atau kekejian perang.
Jadi pada hakekatnya, membagi penduduk menjadi
golongan penduduk sipil dan kombatan pada waktu perang, bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada mereka yang memang tidak ikut berperang, sehingga
dapat terhindar dari dampak peperangan, sekaligus dapat mempersiapkan angkatan
bersenjata Negara yang bersangkutan untuk menghadapi musuh.
18. Apa Perbedaan Konflik bersenjata
internasional dan Konflik bersenjata non-internasional ?
Jawab :
Perbedaan utama antara ‘non-international armed
conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status
hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’,
ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara
(sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau
paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang
‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
status hukum tersebut demikian penting, Karena dalam
lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional,
hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai
“pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional,
sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan
hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku
lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat
berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi
entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah
arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional
(humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed
conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu
berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya
adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir
ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya
sama-sama bukan negara.[6]
19. Jenis konflik apa saja yang diatur
dalam Hukum Humaniter ?
Jawab :
Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja
yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : “sengketa atau konflik
bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict);
serta
“sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
a.
Sengketa atau konflik bersenjata internasional
Sengketa bersenjata
yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar
negara (lihat gambar di samping, misalnya negara A berperang melawan negara B).
Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana
telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949
beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b. Sengketa bersenjata yang bersifat
non-internasional
Sedangkan sengketa
bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang
pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang
saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C
antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa
perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya
berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
20. Jenis konflik apa yang TIDAK diatur
dalam Hukum Humaniter ?
Jawab
:
terdapat jenis konflik yang tidak diatur dalam Hukum
Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II
1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan
dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan
yang bersifat sporadis dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang
bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada
ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara
induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan
kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.
21. Ketentuan manakah yang berlaku
dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah
pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ?
Jawab :
apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau
negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3
Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut
intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam
Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Commentary Protokol yang menyatakan sebagai
berikut :[7]
“Thus,
in circumstances where the conditions of application of the Protocol are met,
the Protocol and common Article 3 will apply simultaneously, as the Protocol’s
field of application is included in the broader one of common article 3. On the
other hand, in a conflict where the level of strive if low, and which does not
contain the characteristic features required by Protocol, only common article 3
will apply”.
Jadi, sekali telah terjadi suatu sengketa bersenjata
non-internasional, maka pada saat itu pulalah berlaku Pasal 3 Konvensi Jenewa.
Jadi pasal 3 ini bersifat otomatis, tanpa harus memenuhi suatu unsur atau
syarat tertentu. Namun walaupun para ahli menyetujui memberlakukan Pasal 3
Konvensi Jenewa pada konflik-konflik yang intensitasnya rendah, namun praktek
negara menunjukkan bahwa negara hanya berkehendak untuk menerapkan Pasal 3 ini
dalam konflik-konflik yang memiliki intensitas tertentu saja.[8]
22. Adakah jaminan bahwa pemberontak
mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?
Jawab :
Dalam Commentary, disebutkan pula mengenai
persoalan ini; yaitu :[9]
“…
the commitment made by a State not only applies to the government but also
to any established authorities and private individuals within the national
territory of that State, and certain obligations are therefore imposed on them.
The extent of rights and duties of private individuals is therefore the same as
that of the rights and duties of the State.
If an insurgent party applies article
3 so much the better for the victims of the conflict. No one will complain. If
it does not apply it, it will prove that those who regard its (the insurgent’s)
action as mere acts of anarchy or brigandage are right”.
Dengan demikian, maka persoalan hukum di atas telah
terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara
yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak
dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik
tersebut.
Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau
mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka
hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka
adalah sebagai penjahat biasa.
23. Apa
itu konvensi Jenewa ?
Jawab :
Konvensi Jenewa 1949 adalah empat
buah konvensi yang mengatur mengenai perlindungan para korban perang, baik
kombatan (combatant) maupun penduduk sipil (civilian) Konvensi
Jenewa 1949 adalah empat buah konvensi yang mengatur mengenai
perlindungan para korban perang, baik kombatan (combatant) maupun
penduduk sipil (civilian).
24. Apa maksud “common articles” dalam
Konvensi Jenewa 1949 ?
Jawab :
common articles“;
yaitu pasal-pasal yang sama atau nyaris sama, baik isinya ataupun nomor
pasalnya, yang terdapat di dalam semua Konvensi Jenewa 1949. Pasal-pasal
tersebut atau “pasal-pasal kembar” (istilah dari Prof. Sugeng Istanto, FH-UGM
Jogjakarta), dicantumkan-ulang pada setiap Konvensi Jenewa karena memang sangat
penting dan merupakan ketentuan pokok dari Konvensi Jenewa.
25. Sebutkan Indtrumen-instrumen hukum humaniter
yang dihasilkan melalui konferfensi internasional ?
Jawab
:
1.
Konvensi-konvensi
Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konsensus, yaitu:
a.
Convention
(I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed
Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949.
b.
Convention
(II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked
Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 August 1949.
c.
Convention
(III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
d.
Convention
(IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12
August 1949.
2.
Protokol
Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 terdiri atas:
a.
Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June
1977.
b.
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating
to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol
II), 8 June 1977.
3.
Instrumen-instrumen
internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang
a.
The
1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets
b.
Convention
On Prohibitions Or Restrictions On The Use Ofcertain Conventional Weapons Which
May Be Deemed To Be Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects As
Amended On 21 December 2001.
26. Mengapa Hukum
kebiasaan humanter internasional ?
Jawab :
1.
traktat hanya berlaku kepada Negara-negara yang
meratifikasinya. Ini berarti bahwa traktat-traktat dari hukum internasional
yang berbeda berlaku dalam sengketa bersenjata yang berbeda tergantung pada
traktat mana yang diratifikasi Negara bersangkutan. Sementara empat Konvensi
Jenewa 1949 telah diratifikasi secara semesta, hal yang sama tidak berlaku
untuk traktat-traktat hukum humaniter lainnya, misalnya Protokol-protokol
Tambahannya.
2.
, hukum perjanjin internasional tidak
mengatur dengan cukup rinci bagian terbanyak sengketa bersenjata dewasa
ini, yakni sengketa bersenjata non internasional karena sengketa-sengketa
pengaturannya dalam traktat jauh lebih sedikit daripada pengaturan sengjketa
bersenjata internasional.[10]
27. Sebutkan aturan-aturan dasar Hukum Humaniter
Internasional ?
Jawab
:
1. Orang yang hors de combat dan orang
yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara
manusiawi.
2. Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah
atau yang hors de combat adalah dilarang.
3. Korban luka dan korban sakit dirawat
dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang
Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
4. Kombatan dan orang sipil yang
tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka
berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
5. Tak seorang pun boleh dikenai
penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan
martabat.
6. Pihak peserta konflik dan anggota
angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut
cara dan sarana berperang.
7. Pihak peserta konflik membedakan
setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya
terhadap sasaran militer.[11]
28. Apa itu ICRC ?
Jawab :
ICRC
adalah satu-satunya institusi yang secara eksplisit disebut dalam Hukum
Humaniter Internasional sebagai otoritas kontrol (controlling authority).
Mandat hukum ICRC berasal dari keempat Konvensi Jenewa 1949 dan dari Anggaran
Dasarnya sendiri.
29. Apa Misi ICRC
?
Jawab :
Komite
Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral,
dan mandiri dan yang misinya ialah misi kemanusiaan semata-mata, yaitu untuk
melindungi kehidupan dan martabat para korban perang dan korban kekerasan
internal dan memberi mereka bantuan.
30. Sebutkan aliran yang berkaitan
dengan hubungan hukum humaniter internasional ?
Jawab :
1. Aliran Integrationis:
Aliran Integrationis berpendapat
bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain.
2. Aliran Separatis:
Aliran Separatis melihat hak asasi
manusia dan hukum humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali
tidak berkaitan, karena keduanya berbeda.
Aliran Komplementaris melihat hukum
HAM dan hukum humaniter internasional
melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran
ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan
menambahkan beberapa perbedaan lain
[1] Sebagaimnana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional diakses pada tanggal 14 mei 2012
pukul 12.00 wita
[2] M. Veuthey, International
Committe of the Red Cross.
[3]
Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press,
Jakarta, 1984, hal. 63; Lihat pula Jean Pictet, Development
and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff
Publisher-Henry Dunant Institute, 1985, hal. 72.
[4]
Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press,
Jakarta, 1984, hal. 63; Lihat pula Jean Pictet, Development
and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff
Publisher-Henry Dunant Institute, 1985
[6] Arlina Permanasari “konflik
bersenjata internasional dan non internasional”Sebagaimana dimuat
dalam, diakse pada tanggal 14 mei 2012 pukul 19.00 wita
[7]
Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), Commentary to the
Additional Protocols of 8 June1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949,
ICRC, Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, 1987, hal. 1350.
[8] Joële Nguyên Duy-Tân, “The Law
Applicable to Non-International Armed Conflicts”, dalam Mohammed Bedjaoui (ed),
International Law : Achievements and Prospects, UNESCO, France, 1991, pp.
795-796.
[9] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann
(eds), op.cit., hal. 21.
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 157-160
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 157-160
[10]
Sebagaimana dimuat dalam http://prabugomong.wordpress.com/2012/04/28/catatan-hukum-humaniter/ diakses pada tanggal 14 mei 2012
pukul 13.00 wita
[11] Sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional diakses pada tanggal 14 mei 2012
pukul 13.05 wita
[12] Ahmad
Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2010, hlm. 27.
keren gan...mantep materi nya
BalasHapus