Senin, 11 Juni 2012

tanya-jawab hukum humaniter

www.anneahira.com

1.Penggunaan istilah Kejahatan internasional dan pidana internasional, manakah yang paling tepat dan kemukakan alasanya  ?
Jawab :
Penamaan mata kuliah Hukum Humaniter dan Hukum Kejahatan Internasional pada dasarnya tidaklah tepat dalam studi literatur. Hal ini dikarenakan penamaan yang lebih dikenal adalah hukum pidana internasional dan atau hukum kejahatan internasional. Hukum kejahatan internasional merupakan penamaan umum untuk menggambarkan peristiwa yang bertaut dengan tindak pidana atau kejahatan, sedangkan hukum humaniter merupakan hal yang bersifat spesifik dimana hukum humaniter merupakan salah satu bagian dari hukum kejahatan internasional.
Sehingga yang menjadi fokus perkuliahan akan tetap ditekankan pada hukum pidana internasional dan atau hukum kejahatan internasional dimana hukum humaniter merupakan salah satu sub yang akan dijelaskan selama perkuliahan berlangsung

2.      Jelaskan Pengertian Hukum Humaniter menurut Muchtar Kusumahadmadja ?
Jawab  :
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.

3.      Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian, sebutkan dan jelaskan kedua bagian tersebut ?
Jawab :
a.       Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
b.      . Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi :
·         Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
·         Hukum yang mengatur perlindungan orang¬-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.

4.      Apa Pengertian Hukum Humaniter Menurut Esbjorn Rosenblad ?
Esbjorn Rosenblad, yang membedakan antara :
1.      Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah seperti :
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Penduduk di wilayah pendudukan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
2.      Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum sengketa bersenjata, yang mencakup antara lain masalah :
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.

5.      Apa yang dimaksud dengan hukum Den hag ?
Jawab :
Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metoda) berperang. Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda.

6.      Apa yang dimaksud dengan hukum jenewa ?
Jawab :
Hukum Jenewa atau The Geneva Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai perlindungan para korban perang (protection of war victims); baik terdari dari kombatan maupun penduduk sipil. Disebut dengan Hukum Jenewa, karena hampir sebagian besar ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dihasilkan di kota Jenewa, Swiss.

7.      Apakah yang menjadi dasar Utama dari Hukum Humaniter Internasional ?
Jawab  :
Dasar utama bagi Hukum Humaniter adalah hukum Den Haag dan Hukum Jenewa; yakni seperangkat Konvensi-konvensi Den Haag hasil dari Konferensi Perdamaian I dan II, serta Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 beserta kedua Protokol Tambahannya tahun 1977.

8.      Sebutkan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional yang Fumndamental, jelaskan?
Jawab  :
a. Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metoda berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun ditemukan.
Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas atau politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak
b. Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sararan militer apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip keterpaksaan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
c. Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari serangan tersebut.
d. Distinction (pembedaan)
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil.
e. Prohibition of causing unnecessary suffering ( prinsip HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.
f. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.
g. Ketentuan minimal HHI.
HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non internasional. Ketentuan minimal yang dimuat di Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya dalam semua dalam Konvensi Jenewa I s/d IV).
Masing-masing prinsip HHI ini bersumberkan tidak pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari bermacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan membantu penafsirannya.

9.      Apa tujuan dari Hukum Humaniter ?
Jawab  :
Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiaakan perang. Di samping itu ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu (Arlina permanasari dkk, 1999:12)
a.       Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.       Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.       Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu dalam situasi konflik bersenjata.

10.  Apa saja asas-asas hokum Internasional ?
Jawab :
Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Arlina dkk, 1999:11).

a.       Asas kepentingan militer\
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b.      Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu..
c.       Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
Dalam situasi sengketa bersenjata pihak lawan diperbolehkan untuk menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan lawannya supaya kemenangan berada di pihaknya. Tetapi harus memperhatikan berbagai asas yang lain yaitu harus memperhatikan asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan, yaitu perang harus dilaksanakan dengan jujur dan harus memperhatikan aspek kemanusiaan.

11.   APakahah Aturan dasar dari Hukum Humaniter Internasional?
Jawab  :
a.       Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
b.      Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
c.       Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
d.      Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
e.       Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.
f.       Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
g.      Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[1]
12.   Apa yang dimaksud dengan Combatan ?
Jawab  :
Kombatan (combatant) adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran atau medan peperangan.

13.   Siapa sajakah Combatan ?
Jawab :
Kombatan (combatant) adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran atau medan peperangan. berikut disebutkan kembali siapa saja yang dapat dianggap sebagai kombatan :
a.       Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu Negara
b.      Milisi dan Korps Sukarela
c.       Levee en masse
d.      Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize Resistance Movement), seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans, maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars, panjsheries, mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation tiger, mau-mau, fedayins, dan sebagainya.[2]
Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan “non-kombatan” adalah anggota Angkatan Bersenjata yang tidak ikut bertugas di garis depan medan pertempuran. Mereka sebenarnya juga kombatan.

14.    Apa arti prinsip pembedaan ?
Jawab :
Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.[3]
Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), maka prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori pula, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. Suatu objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang, akan tetapi yang termasuk sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter.


15.  Apa asas umum prinsip pembedaan ?
Jawab :
Menurut Jean Pictet,[4] prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer. Penjabaran dari asas tersebut adalah harus diterapkannya hal-hal seperti di bawah ini :
a.       Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.
b.      Penduduk dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek serangan.
c.       Dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil.
d.      Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil, atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
e.       Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan bertempur melawan musuh.
Jadi, secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Dengan demikian berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan dengan sengaja.


16.   Apa dasar hukum prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter ?
Jawab  :
Sebagai prinsip pokok, prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977

17.   Mengapa penduduk perlu dibedakan menjadi dua golongan ketika terjadi peperangan ?
Jawab :
Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan (termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun); karena jika tidak demikian, maka merekalah yang akan menjadi sasaran serangan musuh. Istilahnya, “to kill, or to be killed“. Semua orang yang termasuk ke dalam golongan kombatan ini adalah sasaran atau objek serangan, sehingga apabila kombatan membunuh kombatan dari pihak musuh dalam situasi peperangan, maka hal tersebut bukanlah merupakan tindakan yang melanggar hukum.
Sebaliknya, golongan yang disebut dengan penduduk sipil (civilian) adalah golongan yang tidak boleh turut serta dalam pertempuran sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan.[5]Hal ini sangat penting ditekankan karena yang namanya perang, sejatinya hanyalah berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bersengketa. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini sudah diakui sejak zaman kuno. Hal ini dapat dilihat dari setiap kodifikasi hukum modern yang kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekejian perang.
Jadi pada hakekatnya, membagi penduduk menjadi golongan penduduk sipil dan kombatan pada waktu perang, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang memang tidak ikut berperang, sehingga dapat terhindar dari dampak peperangan, sekaligus dapat mempersiapkan angkatan bersenjata Negara yang bersangkutan untuk menghadapi musuh.

18.    Apa Perbedaan Konflik bersenjata internasional dan Konflik bersenjata non-internasional ?
Jawab :
Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.
status hukum tersebut demikian penting, Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai “pelaku”. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan “pelaku” dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan “pelaku lain” yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rejim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).
Oleh karena itu dalam ‘non-international armed conflict’, status ke dua pihak tidak sama, yakni : pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara.[6]


19.  Jenis konflik apa saja yang diatur dalam Hukum Humaniter ?
Jawab :
Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
a.      Sengketa atau konflik bersenjata internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (lihat gambar di samping, misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.      Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional
Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.

20.  Jenis konflik apa yang TIDAK diatur dalam Hukum Humaniter ?
Jawab  :
terdapat jenis konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir,  serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.




21.  Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ?
Jawab :
apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja. Hal ini dapat dilihat dalam Commentary Protokol yang menyatakan sebagai berikut :[7]
Thus, in circumstances where the conditions of application of the Protocol are met, the Protocol and common Article 3 will apply simultaneously, as the Protocol’s field of application is included in the broader one of common article 3. On the other hand, in a conflict where the level of strive if low, and which does not contain the characteristic features required by Protocol, only common article 3 will apply”.
Jadi, sekali telah terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka pada saat itu pulalah berlaku Pasal 3 Konvensi Jenewa. Jadi pasal 3 ini bersifat otomatis, tanpa harus memenuhi suatu unsur atau syarat tertentu. Namun walaupun para ahli menyetujui memberlakukan Pasal 3 Konvensi Jenewa pada konflik-konflik yang intensitasnya rendah, namun praktek negara menunjukkan bahwa negara hanya berkehendak untuk menerapkan Pasal 3 ini dalam konflik-konflik yang memiliki intensitas tertentu saja.[8]

22.  Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?
Jawab :
Dalam Commentary, disebutkan pula mengenai persoalan ini; yaitu :[9]
“… the commitment made by a State not only applies to the government but also to any established authorities and private individuals within the national territory of that State, and certain obligations are therefore imposed on them. The extent of rights and duties of private individuals is therefore the same as that of the rights and duties of the State.
If an insurgent party applies article 3 so much the better for the victims of the conflict. No one will complain. If it does not apply it, it will prove that those who regard its (the insurgent’s) action as mere acts of anarchy or brigandage are right”.

Dengan demikian, maka persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut.
Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.


23.  Apa itu konvensi Jenewa ?
Jawab :
Konvensi Jenewa 1949 adalah empat buah konvensi yang mengatur mengenai perlindungan para korban perang, baik kombatan (combatant) maupun penduduk sipil (civilian) Konvensi Jenewa 1949 adalah empat buah konvensi yang mengatur mengenai perlindungan para korban perang, baik kombatan (combatant) maupun penduduk sipil (civilian).

24.  Apa maksud “common articles” dalam Konvensi Jenewa 1949 ?
Jawab  :
common articles“; yaitu pasal-pasal yang sama atau nyaris sama, baik isinya ataupun nomor pasalnya, yang terdapat di dalam semua Konvensi Jenewa 1949. Pasal-pasal tersebut atau “pasal-pasal kembar” (istilah dari Prof. Sugeng Istanto, FH-UGM Jogjakarta), dicantumkan-ulang pada setiap Konvensi Jenewa karena memang sangat penting dan merupakan ketentuan pokok dari Konvensi Jenewa.

25.    Sebutkan Indtrumen-instrumen hukum humaniter yang dihasilkan melalui konferfensi internasional ?
Jawab :
1.      Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konsensus, yaitu:
a.       Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949.
b.      Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 August 1949.
c.       Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
d.      Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12 August 1949.
2.      Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 terdiri atas:
a.       Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.
b.         Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977.
3.      Instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang
a.       The 1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets
b.      Convention On Prohibitions Or Restrictions On The Use Ofcertain Conventional Weapons Which May Be Deemed To Be Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects As Amended On 21 December 2001.


26.    Mengapa Hukum kebiasaan humanter internasional  ?
Jawab  :
1.      traktat hanya berlaku kepada Negara-negara yang meratifikasinya. Ini berarti bahwa traktat-traktat dari hukum internasional yang berbeda berlaku dalam sengketa bersenjata yang berbeda tergantung pada traktat mana yang diratifikasi Negara bersangkutan. Sementara empat Konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi secara semesta, hal yang sama tidak berlaku untuk traktat-traktat hukum humaniter lainnya, misalnya Protokol-protokol Tambahannya.
2.      , hukum perjanjin internasional tidak mengatur dengan cukup rinci  bagian terbanyak sengketa bersenjata dewasa ini, yakni sengketa bersenjata non internasional karena sengketa-sengketa pengaturannya dalam traktat jauh lebih sedikit daripada pengaturan sengjketa bersenjata internasional.[10]
27.   Sebutkan aturan-aturan dasar Hukum Humaniter Internasional ?
Jawab  :
1.      Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
2.      Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
3.      Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
4.      Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
5.      Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.
6.      Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
7.      Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.[11]

28.   Apa itu ICRC ?
Jawab  :
ICRC adalah satu-satunya institusi yang secara eksplisit disebut dalam Hukum Humaniter Internasional sebagai otoritas kontrol (controlling authority). Mandat hukum ICRC berasal dari keempat Konvensi Jenewa 1949 dan dari Anggaran Dasarnya sendiri.

29.   Apa Misi ICRC  ?
Jawab  :
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri dan yang misinya ialah misi kemanusiaan semata-mata, yaitu untuk melindungi kehidupan dan martabat para korban perang dan korban kekerasan internal dan memberi mereka bantuan.

30.  Sebutkan aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional ?
Jawab  :
1.      Aliran Integrationis:
Aliran Integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain.
2.      Aliran Separatis:
Aliran Separatis melihat hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda.
3.      Aliran Komplementaris[12]
Aliran Komplementaris melihat hukum HAM dan hukum humaniter    internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dimukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain







[1] Sebagaimnana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional diakses pada tanggal 14 mei 2012 pukul 12.00 wita
[2] M. Veuthey, International Committe of the Red Cross.
[3] Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal. 63; Lihat pula Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher-Henry Dunant Institute, 1985, hal. 72.
[4] Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal. 63; Lihat pula Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher-Henry Dunant Institute, 1985

[6]  Arlina Permanasari “konflik bersenjata internasional dan non internasional”Sebagaimana dimuat dalam, diakse pada tanggal 14 mei 2012 pukul 19.00 wita
[7] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), Commentary to the Additional Protocols of 8 June1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC, Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, 1987, hal. 1350.
[8] Joële Nguyên Duy-Tân, “The Law Applicable to Non-International Armed Conflicts”, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law : Achievements and Prospects, UNESCO, France, 1991, pp. 795-796.
[9] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), op.cit., hal. 21.
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 157-160
[10]  Sebagaimana dimuat dalam http://prabugomong.wordpress.com/2012/04/28/catatan-hukum-humaniter/ diakses pada tanggal 14 mei 2012 pukul 13.00 wita
[11] Sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional diakses pada tanggal 14 mei 2012 pukul 13.05 wita
[12] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm. 27.

1 komentar: